JAKARTA, SUARAFLORES.NET,–Tanggal 27 Juni 2018 menjadi hari bersejarah bagi seluruh rakyat NTT. Di hari itu rakyat akan berbondong-bondong ke TPS untuk memilih gubernur dan wakil gubernur NTT yang baru. Rutinitas pesta demokrasi lima tahunan ini bukan sekedar ceremonial politik saja tetapi harus melahirkan pemimpin baru yang tidak biasa saja. Tentunya tidak. Pilgub NTT 2018, harus beda dari yang lainnya, dimana harus melahirkan pemimpin yang lebih jauh dari sekedar biasa saja, yakni pemimpin yang memiliki gagasan loncatan jauh ke depan atau ‘Quantum Leap dan Progresif.’
Menurut Sekretaris Jenderal DPP Partai NasDem, Johnny G. Plate Partai NasDem sudah mempunyai target yang terukur. Ada empat 4 kontestan bagi Nasdem dan koalisinya pasti lebih memudahkan, jika dibandingkan dengan dua kontestan saja. Dengan 4 pasangan calon itu suaranya sudah terpecah-pecah.
Tetapi, lanjut dia, hal yang tak boleh dilupakan bahwa pilkada hanyalah salah satu sistem alat dalam rangka rotasi pemimpin. Hal itu bukan hanya sebagai bagian dari sirkulasi demokrasi saja, tetapi yang harus dicatat adalah rotasi pemimpin itu harus menghasilkan pemimpin yang dibutuhkan daerah.
“Khusus untuk NTT, ada beberapa hal yang perlu perhatikan. Selama ini, kita membantu rakyat NTT untuk memilih calon pemimpin yang tepat. Dengan cara, partai politik mengusung pasangan calon yang kita yakini bisa membawa misi untuk mengantarkan rakyat NTT dalam satu loncatan fase, khususnya fase kesejahteraan. Edukasi rakyatnya, sehingga rakyat ketika memilih pemimpinnya mereka sadar akan gagasan, sadar akan ide, sadar akan potensi atau kemampuan yang dimiliki calon. Harus disampaikan kepada mereka, sosialisasi itu yang harus masif. Hal ini yang belum kelihatan, yang terlihat masih yang normal-normal saja. Ini yang harus kita perbaiki.”kata Johnny Plate ketika ditemui SUARAFLORES.NET usai acara Halal Bihalal di Kantor DPP Partai NasDem, Jakarta, belum lama ini.
Dia berharap, Pilgub NTT nanti bisa mengantar rakyat untuk memilih pemimpin dalam satu loncatan fase yang saya sebut dengan ‘Quantum Leap.’ Untuk menuju pemimpin Quantum Leap, kata dia, harus memilih satu pasangan yang bukan biasa-biasa saja.
Selama ini, sejak tahun 1958 NTT menjadi sebuah propinsi, tata kelolah pemerintahan yang sudah sudah berjalan, tetapi akselerasi sangat terbatas. Dimana pemimpin bagus, tetapi belum cukup bagus untuk mengantar mereka untuk meloncat. Sehingga, rakyat terjebak pada pemimpin yang berorientasi sangat birokratis. Hal ini karena hampir sebagian besar pemimpinnya dari latar belakang birokrat. Dimana yang dijual adalah pengalaman birokrasi.
“Birokrasi kan orientasi proses. Ini sudah terformat yang sudah teratur dan melaksanakan apa yang sudah ada. Ketika anggarannya sudah seperti itu, mereka tetapkan dan mereka laksanakan. Mereka tidak berani melakukan terobosan lain. Ke depan, tidak cukup disitu saja. NTT butuh orang yang berpikir lebih dari itu. Yang saya sebut tadi harus lebih progresif. Dan orang yang harus bisa keluar dari kebiasaan-kebiasaan birokratis. Ya, harus keluar dari kebiasaan politik yang selama ini ada di NTT,” kata Ketua Fraksi NasDem di DPR-RI ini.
Baca juga: Yuvens Pastikan Ranamese Mutlak untuk ASET
Diterangkannya, apabila rakyat NTT gagal menghasilkan pemimpin seperti itu, maka NTT tetap dalam irama yang biasa. Memang sekarang NTT ada kemajuan di bidang ekonomi, bukan tidak ada. Contohnya, pertumbuhan ekonomi, kwartal pertama 2018 di NTT lebih tinggi dari rata-rata nasional. Di NTT sebesar 5,17 persen dari rata-rata nasional 5,06. Tetapi, menurunya, secara nominal dari GDP regional jauh sekali, 5 persen dari 116,50 an (tinggal dikali 55 atau 56) saja, dibandingkan dengan nasional 5,06 persen dari 3.600. Jadi yang satu 180 dolar incremental dan yang satu 55 dolar incremental.
“Kan berarti makin jauh itu, karena tingkat pertumbuhannya sama. Kita perlu orang yang lebih progresif. Calon pemimpin harus punya konsep yang ‘Quantum Leap’ dan progresif. Kalau sekedar konsep ya bisa saja dibuat atau disusun oleh profesor-profesor dari kampus. Tinggal dibaca kan bagus-bagus, tetapi mampu dilaksanakan atau tidak. Kita perlu lihat kompetensi orang. Pernah tidak dia punya background yang luar biasa di luar sekedar pelaksanaan birokrasi? Ada tidak calon yang punya credibility tinggi dan integritas besar keberpihaknnya ke NTT dengan komitmen total? Jangan sampai hanya karena komitmen merebut kekuasaan saja. Ada tidak eksperiencenya, pengalamannya yang cukup meyakinkan dan out of book,” tanya Johnny Plate.
Memilih pemimpin, terangnya, tidak hanya sekedar melihat konsep yang secara teoritis bagus, logis dan teratur. Hal itu belum tentu bagus untuk NTT dalam pelaksanaannya. Propinsi NTT membutuhkan pemimpin yang memiliki keberanian mengambil keputusan, gagasan-gagasan yang tidak biasa, pengalaman-pengalaman empiris di tempat lain dari calon.
Propinsi NTT tidak bisa hanya bisa mengandalkan APBD dan transfer daerah, karena itu hanya sepertujuh (1/7) dari ekonomi regional NTT. Paling hanya 15 persen. Lalu 85 persennya non government.Siapa yang punya pengalaman non government? Siapa yang mempunyai jaringan non government ? Tanpa peran itu, pertumbuhan ekonomi NTT akan tetap biasa-biasa saja.
“Itu dari sektor ekonomi, masih banyak sektor lainnya. Ini sebagai contoh saja. Jadi pililah pemimpin yang mampu melakukan terobosan baru, yang mempunyai gagasan yang bisa dilaksanakan bukan teoritis akademis. Kalau teoritis akademis itu untuk ujian tesis di kampus. Jangan sampai pemimpin yang mempunyai kewenangan birokrasi lalu dengan kemampuan birokrasi itu dipakai untuk menghambat akselerasi pembangunan. Memang NTT tetap maju, tapi irama dan gerakannya ya biasa saja. Kalau biasa ya kita makin jauh,” tegas Jhoni Plate sembari menekankan bahwa dalam konteks itulah Viktor Bungtilu Laiskodat dan Josep Nae Soi (Paket Viktory-Joss) hadir. (bungkornell/sfn)