KUPANG, SUARAFLORES.NET,–Dunia konstruksi Indonesia kini telah memiliki payung hukum baru untuk mengatur dan melindungi dan menjamin keberlangsungan jasa usaha konstruksi (Jakon). Payung hukum baru itu, yaitu Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Jasa Konstruksi. Undang-undang ini lebih lengkap dan luas dari UU Jakon Nomor 18 Tahun 1999 yang kini sudah cabut. Tentunya UU ini menjadi “angin segar” yang membawa “kemerdekaan” bagi dunia pelaku Jakon yang lama terbelenggu dalam rasa cemas dan takut.
Menurut Ketua Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Provinsi (LPJKP) Nusa Tenggara Timur, Paulus Tangela,ST, saat ini pihaknya tengah gencar mensosialisasikan Undang-undang Nomor 2 tahun 2017 kepada seluruh palaku jasa konstruksi di NTT. Menurutnya, undang-undang baru ini lebih memberikan kepastian hukum bagi para pelaku konstruksi karena membebaskan pelaku Jakon dari belenggeu kriminalisasi kontrak yang selama ini terjadi, dan sangat merugikan pihak kontraktor dan konsultan juga penyedia jasa.
“Undang-undang ini menghentikan kriminalisasi kontrak yang terjadi selam ini. Sejak penandatanganan kontrak hingga masa tanda tangan kontrak kedua (FHO) tidak boleh ada tindakan hukum yang dilakukan oleh aparat hukum. Apabila ada ada kekurangan volume maka ditambahkan lagi, kalau ada kerusakan bangunan ya diperbaiki, dan kalau ada kelebihan pembayaran maka harus dikembalikan.Kalau ada kesalahan maka prosesnya adalah perdata dan bukan pidana,” terang Paul Tangela di Kupang, belum lama ini.
Diungkapkannya, sudah sejak lama berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 1999 yang longar dan kurang lengkap, pihak aparat hukum (Polisi dan Jaksa) dengan mudah masuk melakukan penyelidikan kasus korupsi terkati kegagalan konstruksi yang sedang dikerjakan oleh para kontraktor. Padahal, antara penyedia jasa dan pelaksana pekerjaan sudah ada surat kontrak yang ditandatangani dan menjadi perjanjian hukum yang harus dipatuhi. Nah, seharusnya, surat kontrak itulah yang mengikat kedua belah pihak. Jika ada pelanggaran terhadap kontrak, misalnya kegagalan bangunan atau kekurangan volume atau kelebihan pembayaran kan sudah jelas perjanjiannya.
“Yang terjadi selama ini surat kontrak tidak dipakai, dan pihak aparat langsung memproses hukum pelaku konstruksi, seperti Kadis PU, PPK, Konsultan Pengawas dan Kontraktor. Inilah yang disebut dengan kriminalisasi kontrak. Sialnya, mereka langsung dikenakan pasal pidana korupsi, padahal seharusnya jika mreka melanggar kontrak tuntutannya adalah perdata karena tidak komit dengan surat kontrak yang sudah ditandatangani,” tegasnya.
Dikatakannya pula bahwa sudah begitu banyak PPK, Konsultan dan Kontraktor yang masuk penjara akibat dari kriminalisasi kontrak ini. Hal ini bukan lagi menjadi rahasia pribadi tapi sudah menjadi rahasia umum, dimana mereka menjadi korban dari sebuah payung hukum yang longgar, yaitu UU Nomor 18 Tahun 1999. Banyak penyedia jasa dan pelaksana konstruksi tidak berdaya. Mereka pasrah karena tidak mempunyai kekuatan hukum sebagaimana yang diatur lebih lengkap dan khusus pada UU Nomor 2 Tahun 2017.
“Begitu ada laporan masyarakat terkait kegagalan konstruksi, pihak aparat hukum langsung masuk menyelidiki menggunakan UU Tipikor Nomor 31 Tahun 1999, Pasal 4, Ayat 31 untuk menjerat kontraktor, konsulatan pengawas dan PPK. Hal ini telah membuat banyak orang tidak mau menjadi PPK, tidak mau menjadi konsultan dan kontraktor. Jika saja mereka mau, mereka bekerja penuh dengan rasa takut kalau-kalau ada kesalahan teknis atau kegagalan konstruksi dan langsung ditangkap aparat,” bebernya.
Dengan adanya UU Nomor 2 Tahun 2017 ini, lanjut dia, pihak penyedia jasa dan pelaksana konstruksi tidak perlu merasa was-was atau takut lagi karena aturan hukumnya sudah jelas. Pasalnya, UU ini memberikan keleluasaan bagi kedua pihak dalam melaksanakan kontrak dan pekerjaan konstruksi karena ketika ada kegagalan konstruksi, maka prosesnya tidak lagi menggunakan UU Tipikor yang ditangani Polisi dan Jaksa tetapi diproses secara perdata (sesuai kesepakatan kontrak) melalui Menteri Pekerjaan Umum (PU) RI.
Menurut undang-undang ini, lanjut dia, masyarakat pengguna jasa konstruksi (termasuk Polisi), dapat melaporkan kegagalan konstruksi kepada Menteri PU RI apabila menemukan ada kasus kegagalan bangunan. Nantinya, Menteri PU akan membentuk tim khusus yang bekerja selama 90 hari untuk melakukan investigasi dan kajian. Setelah itu, tim tersebut melaporkan kepada Menteri PU terkati hasi investigasi dan kajian yang dilakukan. Selanjutnya, setelah dikaji dan dianalisa akan terungkap apakah kegagalan bangunan itu disebabkan oleh konstruksi yang tidak berkualitas (pengurangan volume) ataukan karena adanya bencana alam sehingga bangunan tersebut runtuh atau rusak. Bila ditemukan kegagalan bangunan karena konstruksi yang tidak berkualitas (tidak sesuai spek) karena pengurangan volume atau material lainnya, maka Menteri Puakan mempersilakan pihak aparat hukum untuk masuk memeriksanya.
Ditegaskan Paul, dalam undang-undang ini kegagalan konstruksi dihapus, dan UU Tipikor Pasal 4 Ayat 31 tidak bisa menjerat pekerja konstruksi yang sedang menjalankan pekerjaan konstruksi dalam masa kontrak seperti yang terjadi selama ini. Tindakan pidana hanya bisa dibuktikan setelah dikahir masa kontrak dilakukan pemerikasaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau lembaga keuangan lainnya.
“Undang-undang ini sangat menjamin kenyamanan pelaku jakon. Para pelaku dan pelaksana jakon tidak lagi merasa takut dalam melaksanakan pekerjaan jasa konstruksi. Mengapa? Karena proses hukum tidak dilakukan semena-mena seperti yang terjadi selama ini, dimana masih dalam masa kontrak tapi polisi dan jaksa sudah masuk menyelidisi dan mengusutnya. Kriminalisasi kontrak inilah yang merugikan para pemberi dan penerima pekerjaan konstruksi. Meski demikian, ada juga pengecualian di mana kalau pelaku konstruksi yang sedang melakukan pekerjaan meninggal dunia dan terjerat Operasi Tangkap Tangan (OTT) ketika dalam masa kontrak, maka masuk kategori tindakan pidana,” terangnya. Lebih lengkap bisa dibaca pada pasal 86 UU Jakon Nomor 2 Tahun 2017.
Pasal 86:
· (1) Dalam hal terdapat pengaduan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf b akan adanya dugaan kejahatan dan/atau pelanggaran yang disengaja dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi, proses pemeriksaan hukum terhadap Pengguna Jasa dan/atau Penyedia Jasa dilakukan dengan tidak mengganggu atau menghentikan proses penyelenggaraan Jasa Konstruksi. · (2) Dalam hal terdapat pengaduan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf b terkait dengan kerugian negara dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi,proses pemeriksaan hukum hanya dapat dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan dari lembaga negara yang berwenang untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. · (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dikecualikan dalam hal: a. terjadi hilangnya nyawa seseorang; dan/atau b. tertangkap tangan melakukan tindak pidana korupsi. |
Ditambahkannya, lahirnya UU ini melalui perjuangan panjang. Dengan adanya UU ini membawa angin segar bagi seluruh pelaku jakon di Indonesia, secara khusus di NTT. Meski demikian dia berharap, adanya UU ini tidak dijadikan sebagai alat kemerdekaan bagi pelaku jakon untuk bermain bebas, tetapi harus lebih bertanggungjawab dalam melaksanakan pekerjaan yang berkualitas sesuai dokumen kontrak yang telah ditandatangani sehingga ketika usai masa kontrak dan serah terima pekerjaan tidak ditemukan penyelewengan keuangan oleh BPK, yang kemudian berurusan dengan hukum dan berujung di penjara.
Penghargaan terhadap Tenaga Ahli
Lebih lanjut, terang Paul, selain memberikan jaminan kepastian hukum, UU Nomor 2 Tahun 2017 ini juga juga memberikan jaminan kesejateraan/ upah (renumirasi) bagi para tenaga terampil konstruksi dan atau ahli konstruksi yang telah tersertifikasi. Bagi para tenaga terampil dan ahli di bidang konstruksi diberikan penghargaan upah yang sesuai kompetensi dan bidang keahliaannya. Hal ini selama ini memang sudah diatur dalam Permen PU Nomor 897 tahun 2017. Di dalam Permen PU ini sudah ditegaskan terkait upah bagi para tenaga terampil berdasarkan tingkatan dan golongan keahliannya, namun dalam praktek tidak dilaksanakan, masih banyak tenaga terampil dan ahli konstruksi belum mendapat upah sebagaimana mestinya.
“Tentunya mereka yang patut mendapatkan upah sesuai dengan perintah Permen PU ini adalah mereka yang sudah memiliki sertifikat atau tersertifikasi oleh LPJKN dan LPJKP, kalau yang belum ada sertifikat belum bisa dikatakan tenaga ahli dan ahli konstruksi,” ujarnya.
Semangat UU Nomor 2 Tahun 2017 adalah memberikan pengakuan kepada orang-orang yang dinilai sudah ahli dalam bidang konstruksi, dan ini memberikan penghargaan terhadap profesi yang profesional. Dalam sebuah proses hukum terkait kasus konstruksi, yang seharusnya memberikan sebagai saksi ahli di pengadilan adalah seorang yang ahli konstruksi yang sudah mengantongi sertifikat bukan orang-orang yang berlatarbelakang dosen teknik. Meskipun mereka belajar tentang ilmu teknik sipil, mereka tidak dibenarkan menjadi saksi ahli. Yang terjadi selama ini adalah salah. Ke depan, fakta seperti ini tidak bisa lagi dilakukan untuk menyelesaikan sebuah proses hukum terkait Jakon.
Lembaga Sertifikasi Independen
Selanjutnya, selain memberikan jaminan upah bagi tenaga terampil dan ahli konstruksi, undang-undang ini juga akan mendorong lahirnya lembaga sertifikasi badan usaha konstruksi yang independen. Lembaga ini dibentuk dari asosiasi-asosiasi yang direkomendasikan oleh LPJK. LPJK sebagai mitra pemerintah dan Kementerian PU RI akan memfasilitasi pendirian lembaga sertifikasi independen ini. Selama ini, tugas-tugas sertifikasi, seperti menerbitkan SBU, SKA dan SKT dilakukan oleh LPJK, namun ke depan tidak ada lagi. Tugas sertifikasi akan dilaksakan oleh lembaga sertifikasi independen, dan LPJK hanya bertugas meregister sertifikasi yang telah diterbitkan oleh lembaga sertifikasi tersebut.
“Tugas LPJK hanya memberikan pelatihan, pembinaan dan arbitrase, serta meregistrasi sertifikat yang telah diterbikan oleh lembaga independen tersebut. LPJK tidak lagi bertugas mengeluarkan SBU, SKA dan SKT. Ke depan LPJK sendiri akan mendapatkan anggaran APBN dan dari APBD. Selama ini, LPJK mendapatkan sumbangan dari asosiasi-asosiasi dan dari biaya penerbitan SBU, SKA, SKT dan lain-lain. Dengan anggaran LPJK yang terbatas ini, membuat LPJK tidak bisa berbuat lebih banyak dalam meningkatkan SDM badan usaha-badan usaha konstruksi di NTT,” katanya.
Secara hukum, lanjut dia, undang-undang ini telah berlaku ketika palu diketuk oleh DPR-RI beberapa waktu lalu. Saat itu juga Undang-undang nomor 18 Tahun 1999 sudah tidak berlaku lagi. Namun demikian aturan peralihannya seperti PP dan Permen masih tetap berlaku.
Secara teknis, terangnya, untuk menjalankan perintah UU Nomor 2 Tahun 2017, maka pemerintah akan mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP), Peratutan Presiden (Perpres) dan Peraturan Menteri (Permen PU). Saat ini, semua itu sedang dipersiapkan. Dikatakan Paul, saat ini, LPJKP NTT sedang gencar melakukan sosialisasi Undang-undang Nomor 2 tahun 2017 kepada seluruh asosiasi dan badan usaha konstruksi di NTT, dan juga warga masyarakat serta aparat hukum. Dia merasa bangga karena undang-undang ini lahir dari perjuangan panjang bertahun-tahun. “Kita berjuang cukup lama untuk memberikan jaminan kepastian hukum bagi para palaku jakon. Saat ini sudah ada undang-undang yang membebaskan kita dari belenggu yang selam ini merugikan kita. Mari kita pahami secara baik dan melaksanakannya dalam pekerjaan jakon dengan bertanggungjawab,” tutupnya.
Sementara itu, mantan Ketua LPJKP NTT, Ir. Piter Djami Rebo,M.Si ketika dimintai tanggapan terkait UU Nomor 2 Tahun 2017, mengatakan bahwa adanya UU ini akan membuat para pelaku Jakon di Indonesia, secara khusus di NTT tidak lagi hidup dalam kungkungan rasa takut kalau-kalau sementara kerja proyek dan ditangkap aparat hukum.
Djami Rebo yang sudah menyandang sebagai ahli konstruksi ini, mengungkapkan bahwa dalam waktu yang sudah sangat lama, para pelaku Jakon di NTT bekerja dalam tekanan rasa takut, karena ada begitu banyak kasus-kasus konstruksi yang menyeret rekan-rekan mereka ke penjara, padahal masih dalam masa kontrak. Kontrak menurut dia, tidak pernah dipakai oleh aparat hukum dalam sebuah kasus terkait kegagalan bangunan.
“Saya sudah beberapa kali menjadi saksi ahli dalam beberapa kasus konstruksi. Dalam penyelesaian kasus konstruksi tersebut, aparat langsung masuk dengan UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Surat kontrak yang telah ditandatangi antara para pihak tidak lagi dipakai. Padahal, ketika kontrak ditandatangani disitulah terjadi kesepakatan hukum yang harus dijalankan. Jika ada pasal-pasal yang dilanggar maka sudah ada tertulis pula sangsinya seperti apa. Inilah yang kita sebut ada kriminalisasi kontrak,” tandasnya belum lama ini di Kupang.
Mantan Kepala Dinas PU NTT tiga periode ini, menegaskan, UU ini adalah jalan baru bagi kemajuan dunia konstruksi di NTT, dimana para pelaku jakon akan lebih leluasa atau bebas dan nyaman dalam mengerjakan proyek konstruksi. Meski demikian, senada dengan Paul Tangela, ia meminta para pelaku Jakon juga tidak merasa bebas merdeka lalu kebablasan dan menghasilkan pekerjaan yang tidak berkualitas karena merasa seolah-olah kebal hukum. “Sebuah pekerjaan konstruksi, mulai dari proses awal sampai akhir harus dilakukan dengan penuh tanggungjawab sehingga menghasilkan yang baik dan bermanfaat bagi masyarakat NTT,” pinta Djami Rebo. (korneliusmoanita/mediakonstruksi)