JAKARTA, SUARAFLORES.NET,–Pemilu legislatif (Pileg) 2019 kali ini jauh berbeda dengan Pileg 2014 lalu. Jika dalam Pileg 2014 silam, caleg atau partai dengan mudah langsung mengetahui hasil perolehan kursi, dalam pileg kali ini terasa agak rumit dalam menghitung perolehan suara. Bagi caleg yang tidak atau kurang paham bisa-bisa stress berat bahkan bisa gila karena suaranya banyak tapi tau-tau tidak mendapakan kursi. Untuk itu, baik penyelenggara pemilu dan caleg benar-benar paham dan menguasai metode Sainte Lague. yang dipakai oleh KPU dalam Pileg 2019 ini.
Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri (Kapuspen Kemendagri), Dr. Bahtiar, kepada Suaraflores.Net, Sabtu (20/4/2019), di Jakarta, menjelaskan bahwa Metode konversi perolehan suara partai ke kursi DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota pada Pileg 2019 ini menggunakan metode Sainte Lague.
Menurut Bahtiar, pelaksanaan Pemilu 2019 ini berbeda dengan Pemilu sebelumnya dengan menggunakan metode Kuota Hare yang memakai metode BPP (Bilangan Pembagi Pemilih) dalam menentukan jumlah kursi, maka pada Pemilu kali ini akan menggunakan teknik Sainte Lague untuk menghitung suara. Metode ini, kata Bahtiar, diperkenalkan oleh seorang pakar matematika asal Perancis bernama Andre Sainte Lague pada tahun 1910.
Bahtiar menjelaskan bahwa aturan mengenai metode Sainte Lague tertuang dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, yaitu dalam Pasal 414 ayat (1), disebutkan bahwa setiap partai politik peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sebesar 4 persen.
Lebih lanjut, mantan Direktur Politik Dalam Negeri yang merupakan Tim Pemerintah yang menyusun UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, mengatakan bahwa partai yang tidak memenuhi ambang batas tak akan diikutsertakan dalam penentuan kursi di DPR RI. Sementara itu, untuk penentuan kursi DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, seluruh partai politik akan dilibatkan.
Setelah memenuhi ambang batas atau parliamentary threshold perolehan suara partai tersebut akan dikonversi menjadi kursi di DPR RI pada setiap daerah pemilihan (Dapil). Sesuai Pasal 415 ayat 2 UU Nomor 7 Tahun 2019, suara partai akan dibagi dengan pembagi suara bilangan pembagi 1, 3, 5, 7, dan seterusnya.
Berikut bunyi Pasal 415 UU Nomor 7 Tahun 2019 tentang Pemilihan Umum: “Selanjutnya, dalam hal penghitungan perolehan kursi DPR RI, suara sah setiap partai politik yang memenuhi ambang batas perolehan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 414 ayat (1) dibagi dengan bilangan pembagi 1 dan diikuti secara berurutan oleh bilangan ganjil 3; 5; 7; dan seterusnya”, dikutif dari UU Nomor 7 Tahun 2017.
Bahtiar mengungkapkan bahwa Metode penghitungan suara atau konversi jumlah suara pemilih menjadi kursi di DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota menjadi salah satu isu krusial yang sempat dibahas pada pembahasan UU Pemilu. “Maklum saja, sistem konversi suara ke kursi yang dipilih akan berkorelasi dengan raihan kursi yang akan diperoleh usai Pemilu serentak 2019”, kata Bahtiar.
Ia juga mengatakan, metode penghitungan suara merupakan salah satu variabel utama dari sistem Pemilu. Metode ini berfungsi mengkonversi suara menjadi kursi dan pilihan terhadap metode sangat penting, karena berpengaruh terhadap partai. “Perbedaan dari metode Kuota Hare yang digunakan pada Pemilu sebelumnya dengan metode Sainte Lague yang digunakan pada Pemilu 2019,”jelasnya.
Dalam Kuota Hare, terang dia, ada dua tahapan yang harus dilalui untuk mengkonversi suara menjadi kursi. Pertama, penentuan harga satu kursi dalam satu daerah pemilihan (Dapil) dengan menggunakan rumus V (vote) dibagi S (seat). Kedua, jumlah perolehan suara partai politik di suatu Dapil dibagi dengan hasil hitung harga satu kursi yang telah dilakukan di tahap pertama untuk mengetahui jumlah perolehan kursi masing-masing partai di Dapil tersebut. “Metode Kuota Hare paling dikenal di Indonesia sebab paling sering digunakan dari pemilu ke Pemilu”, ujar Bahtiar.
Berbeda dengan metode Kuota Hare, metode Sainte Lague yang salah satu dari teknik penghitungan Divisor tidak menerapkan harga satu kursi sebagai bilangan pembagi untuk mencari perolehan kursi masing-masing partai. Metode ini memiliki bilangan tetap untuk membagi perolehan suara masing-masing partai.
Logika yang dipakai adalah bahwa partai yang memperoleh suara tertinggi dari hasil pembagian diurutkan sesuai dengan alokasi kursi yang disediakan dalam satu Dapil yang berhak memperoleh kursi. Teknik penghitungan suara Divisor Sainte Lague yang menerapkan bilangan pembagi suara berangka mulai 1,3,5,7, dan seterusnya, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 415 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Penyelenggara Pemilu Wajib Pahami
Lebih jauh Bahtia menekankan dan meminta Caleg, Saksi dan Penyelenggara Pemilu Wajib Pahami Metode Konversi Suara Menjadi Kursi Parpol Hasil Pemilu 2019. Pasalnya, metode hitung perolehan suara menjadi kursi Parpol Pemilu 2019 berbeda dengan Pemilu Sebelumnya yang menggunakan metode Konversi Sainte Laque. “Semua Caleg, saksi dan penyelenggara Pemilu wajib memahami Metode Penghitungan suara Pileg 2019, karena metodenya berbeda dengan Pileg sebelumnya, tahun ini menggunakan metode Konversi Sainte Laque,” kata Bahtiar.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu Dan Demokrasi (SPD) August Mellaz mengatakan, metode penghitungan menjadi salah satu perangkat teknis sistem pemilu untuk mengubah suara partai menjadi kursi yang erat kaitannya dengan besaran dapil, ambang batas perwakilan dan jumlah partai. “Efek metode hitung dalam mentransfer suara partai menjadi kursi, terkait erat dengan perangkat teknis lainnya seperti Besaran dapil _(district magnitude)_, besaran Ambang Batas Perwakilan (PT), serta Jumlah partai dalam penghitungan suara-kursi,” kata August.
Berikut simulasi konversi perolehan suara ke kursi parlemen dalam suatu daerah pemilihan (dapil) jika terdapat 5 kursi.
Penentuan kursi pertama, setiap partai yang sudah memenuhi ambang batas akan dibagi angka 1.
Partai A: 64.000/1 = 64.000
Partai B: 18.000/1 = 18.000
Partai C: 15.000/1 = 15.000
Partai D: 8.600/1 = 8.600
Partai E: 8.000/1 = 8.000
Partai F: 7.600/1 = 7.600
Berdasarkan hasil pembagian itu, Partai A akan mendapatkan kursi pertama di dapil tersebut.
Penentuan kursi kedua
Partai A yang sudah mendapatkan satu kursi selanjutnya akan dibagi dengan angka 3.
Partai A: 64.000/3 = 21.333
Partai B: 18.000/1 = 18.000
Partai C: 15.000/1 = 15.000
Partai D: 8.600/1 = 8.600
Partai E: 8.000/1 = 8.000
Partai F: 7.600/1 = 7.600
Partai A mendapatkan kursi kedua di dapil tersebut.
Penentuan kursi ketiga
Partai A yang sudah mendapatkan dua kursi selanjutnya akan dibagi dengan angka 5.
Partai A: 64.000/5 = 12.800
Partai B: 18.000/1 = 18.000
Partai C: 15.000/1 = 15.000
Partai D: 8.600/1 = 8.600
Partai E: 8.000/1 = 8.000
Partai F: 7.600/1 = 7.600
Partai B mendapatkan kursi ketiga di dapil tersebut.
Penentuan kursi keempat
Partai A dibagi dengan angka 5 dan Partai B dibagi angka 3.
Partai A: 64.000/5 = 12.800
Partai B: 18.000/3 = 6.000
Partai C: 15.000/1 = 15.000
Partai D: 8.600/1 = 8.600
Partai E: 8.000/1 = 8.000
Partai F: 7.600/1 = 7.600
Partai C mendapatkan kursi keempat di dapil tersebut.
Penentuan kursi kelima
Partai A dibagi dengan angka 5. Sedangkan Partai B dan Partai C dibagi angka 3.
Partai A: 64.000/5 = 12.800
Partai B: 18.000/3 = 6.000
Partai C: 15.000/3 = 5.000
Partai D: 8.600/1 = 8.600
Partai E: 8.000/1 = 8.000
Partai F: 7.600/1 = 7.600
Partai A mendapatkan kursi kelima
Berdasarkan perhitungan suara di atas, 5 kursi di dapil tersebut diberikan 3 kepada Partai A, 1 Partai B dan 1 Partai C. (BKR/SFN)