WAIKABUBAK, SUARAFLORES.NET,- Semangat gerakan literasi masih terus membara seiring dengan berbagai kegelisahan–kegelisahan terkait kemampuan literasi masyarakat yang masih rendah. Selain upaya optimal yang dilakukan pada tataran pendidikan formal, ada juga upaya–upaya beberapa pihak yang membentuk komunitas baca, rumah belajar dan taman baca masyarakat.
Salah satu usaha untuk mendorong masyarakat meningkatkan kemampuan literasinya adalah melalui konsep pendekatan pendidikan alternatif. Konsep ini belum begitu optimal bagi beberapa pegiat literasi di Kabupaten Sumba Tengah karena ketika melakukan berbagai kegiatan dalam bentuk bermain sambil belajar, ditemukan banyak hambatan oleh karena belum adanya sistem atau konsep belajar yang sistematis. Karena kegelisahan itulah, maka Komunitas Literasi Bergerak Sumba Tengah pada Sabtu (7/9) lalu menyelenggarakan kegiatan Wisata Literasi II dalam bentuk diskusi literasi dan pentas seni anak–anak dengan tema “Belajar Sebelum Mengajar” dengan nara sumber Butet Manurung dan Aditya Dipta, Perintis sekaligus Pelaku Sokola Rimba.
Dalam kegiatan Wisata Literasi II yang dipandu oleh moderator Wenda Radjah ini, dihadiri oleh sejumlah besar masyarakat. Kegiatan ini diselenggarakan dengan cara swadaya oleh para relawan.
Pembicara Butet Manurung, menjelaskan, layanan pendidikan yang kita temukan selama ini dibangun dengan konsep satu arah yakni semua sistem dan metode pendidikan datangnya dari satu sumber tanpa memperhatikan kondisi budaya dan adat istiadat masyarakat setempat, maka dalam diskusi literasi yang berlangsung dilakukan dengan konsep pendidikan yang dibangun dan dikelola oleh para pegiat literasi tidak mengancam hilangnya kebiasaan, adat dan budaya masyarakatnya. Oleh karena itulah sesungguhnya sebagai pengelola dan pengajar sudah seharusnya para relawan harus belajar terlebih dahulu terutama tentang kebiasaan, adat dan budaya masyarakatnya sebelum datang atau turun mengajar.
Peran para pegiat literasi, kata Butet Manurung, diharapkan dapat memperkuat kebiasaan dan budaya masyarakat bukan sebaliknya. Kegiatan yang dihadiri para kepala sekolah dan guru kelas rendah, pengelola perpustakaan, dosem, mahasiswa dan pegiat literasi tersebut berlangsung sehari di Desa Anajaka.
“Jangan paksakan anak–anak atau peserta didik atau siapapun yang mau belajar untuk memahami hal–hal yang mereka belum pahami. Kitalah sebagai pengajar atau pendidik yang harus memahami mereka. Konsep inilah yang dipakai oleh Sokola Rimba dalam merintis dan menyelenggarakan pendidikan alternatif di beberapa wilayah dampingan, “ujarnya.
Pada tahun 2018 yang lalu Sokola Rimba memulai advokasi dan assessment di Kampung Sodan, Lamboya Kabupaten Sumba Barat untuk mulai merintis Sokola Sumba. Setelah melalui berbagai tahapan kemudian di tahun 2019 ini mereka mulai merintis dan menyelenggarakan Sokola Sumba. Untuk itulah para ibu guru Sokola Rimba ini ada di Sumba dan berhasil “diculik” oleh Tim Komunitas Literasi Bergerak Sumba Tengah untuk berbagi ilmu terkait metode pembelajaran yang dibangun oleh Sokola Rimba. Tim Sokola Institute akan Live In selama 2 tahun di Sodan. (bkr/SFN)