JAKARTA, SUARAFLORES.NET,– Insiden Surabaya yang terjadi beberapa hari lalu telah membangkitkan semangat solidaritas yang tinggi kepada para mahasiswa asal Papua yang menjadi korban dari ujaran kebencian ras. Oleh karena itu, aktivis 98, Aznil Tan, mengajak seluruh elemen bangsa, secara khusus kaum muda harus menguburkan sikap rasisme dan mengedepankan semangat persaudaraan, persatuan dan kesatuan sesama anak bangsa.
“Saya sangat kecewa dan merasa sedih terhadap tragedi kelam Surabaya yang telah berdampak luas hingg kerusuhan di Papua. Saya ajak mari kita hentikan ujaran kebencian ras, suku, agama dan golongan. Mari kita bangun semangat persaudaraan yang tinggi antara sesama anak bangsa dalam bingkai NKRI dan Pancasila,” kata Aznil yang juga sebagai Koordinator Nasional Poros Benhil di sela-sela acara Mimbar Bebas bertema “Skenario di Balik Pelecehan Merah Putih, Kamis (22/8/2019) di Markas Gerakan Jaga Indonesia (GJI), Pejompongan, Jakarta Pusat.
Aznil menegaskan bahwa insiden Surabaya sebenarnya tidak perlu terjadi apabila semua pihak bisa menahan diri dan mengendalikan emosi. Dia menilai aparat kepolisian sebagai pengayom masyarakat tidak menunjukan sikap profesionalismenya karena telah melakukan tindakan represif terhadap para mahasiswa Papua.
“Saya cermati insiden itu terjadi juga karena dipicu oleh sikap aparat polisi yang tidak profesional, akhirnya berdampak panjang. Pengalaman kami aktivis 98′, dimana represif kepada mahasiwa akan dibela oleh rakyat,” tegas Aznil.
Aznil meminta agar insiden Surabaya harus dituntaskan dan aparat harus menangkap siapa dalang di balik itu. Dan para mahasiswa tidak terjebak dalam permainan politik yang dilakukan berbagai oknum menjelang pelantikan presiden Oktober 2019 mendatang.
“Jadi harus kita cari siapa dalang di balik insiden itu. Karena kuat dugaan kasus ini intrik menjelang pelantikan presiden. Ada upaya-upaya merong-rong negara ini, ada upaya bargaining politik, dan ada rebut-rebutan menteri.
“Jadi teman-teman mahasiswa jangan terjebak dalam permainan ini. Maaf ya, jangan mau mati gara-gara perebutan menteri. Kami dulu 98 mau mati karena berjuang untuk perubahan sistem, bukan karena perebutan jabatan. Karena Soeharto dosa-dosanya harus diadili, seperti kejahatan HAM dan kejahatan korupsinya. Makanya kita slow-slow aja bung,” ajak Aznil.
Koordinator Poros Benhil ini, menegaskan bahwa semua anak bangsa bersaudara, tak ada perbedaan antara satu sama lain, tegak sama tinggi duduk sama rendah dalam Republik Indonesia.
Untuk itu, kata dia, sikap-sikap rasis menghina harkat dan martabat suku anak bangsa adalah perbuatan yang perlu dikecam, dan harus diproses secara hukum. Perilaku rasis pada peristiwa terjadi di Surabaya dan Malang adalah perbuatan sekelompok orang yang kuat diduga bermotif politik.
Dia menuntut Kapolri segera menangkap provokator dari tokoh-tokoh ormas yang sengaja memprovokasi suasana dan mengadu-domba sesama anak bangsa untuk menciptakan kekacauan dengan menyebarkan berita hoax.
Sebelumnya seperti diberitakan Kompas.com,Kepala Polrestabes Surabaya, Kombes Sandi Nugroho angkat bicara mengenai penanganan polisi terhadap mahasiswa Papua di Surabaya yang oleh sejumlah pihak dianggap menyalahi aturan. Ia pun menjelaskan kronologi saat Asrama Mahasiswa Papua di Jalan Kalasan, Surabaya, Jawa Timur, dipadati massa dari organisasi kemasyarakatan (ormas) hingga berujung upaya penangkapan paksa terhadap 43 mahasiswa asal Papua.
Menurut Sandi, aksi yang dilakukan ormas di Asrama Mahasiswa Papua dilatarbelakangi adanya penistaan simbol negara yang diduga dilakukan oleh mahasiswa Papua. Saat itu, Jumat (16/8/2019), ormas melakukan aksi di depan asrama dari pukul 16.00 WIB hingga pukul 21.00 WIB. Namun, aksi massa tersebut dapat dihentikan setelah polisi berhasil membubarkan massa.
“Normatifnya, polisi sudah mengerjakan apa yang menjadi standar dan kami tidak mengedepankan upaya paksa. Kami negosiasikan dengan catatan bahwa kami ingin menegakkan hukum, tapi jangan melanggar hukum,” kata Sandi, Selasa (20/8/2019).
Pihaknya saat itu telah mengimbau ormas yang berdemonstrasi agar bersedia membubarkan diri. Sementara itu, polisi tetap melakukan pengamanan di asrama tersebut untuk menghindari bentrokan.
“Kenyataannya, jam 21.00 WIB (asrama) sudah bersih dan kami sudah mengamankan. Di sana (asrama) hanya tinggal petugas yang mengamankan (mahasiswa Papua) di asrama tersebut,” ujar dia.
Sandi mengatakan, perwakilan massa yang melakukan aksi kemudian diminta melaporkan bila benar terdapat dugaan adanya perusakan dan pembuangan bendera Merah Putih ke selokan. Pada Jumat (16/8/2019) malam, massa yang tergabung dalam gabungan ormas itu datang ke kantor polisi dan membuat laporan. “Kami BAP saksi-saksinya dan kemudian kami lengkapi alat buktinya,” katanya.
Keesokan hari, Sabtu (17/8/2019) sekitar pukul 10.00 WIB, polisi mencoba berkomunikasi dengan mahasiswa Papua karena ada laporan tentang penistaan lambang negara berupa pembuangan bendera Merah Putih tersebut. Harapannya, laporan yang dilayangkan gabungan ormas tersebut bisa dijawab dan diklarifikasi oleh mahasiswa Papua atau Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) di Surabaya sebagai pihak terlapor.
Namun, upaya negosiasi untuk mengomunikasikan masalah pembuangan bendera dengan mahasiswa Papua tersebut belum mendapat tanggapan. Kemudian, pihaknya meminta bantuan kepada pihak RT, RW, lurah, camat, hingga perkumpulan warga Papua di Surabaya untuk mengimbau mahasiswa asal Papua keluar dari asrama dan mengadakan dialog dengan kepolisian. “
Ternyata tetap tidak mendapat tanggapan (untuk mengadakan dialog),” kata Sandi. Di sisi lain, pihaknya juga mendapat informasi dari gabungan ormas yang melayangkan laporan ke Polrestabes Surabaya dan menyampaikan bahwa apabila tidak ada jawaban mengenai penyebab pembuangan bendera, massa tersebut akan kembali mendatangi asrama mahasiswa Papua.
“Kira-kira apa polisi akan membiarkan massa itu datang ke sana? Kami mencegah, jangan sampai terjadi bentrokan antara saudara-saudara kita yang ada di sana (mahasiswa Papua) dan massa lain yang ada (ormas),” kata Sandi.
Karena alasan itulah, polisi berusaha berkomunikasi dengan mahasiswa Papua untuk mencari tahu akar masalahnya. Setelah upaya negosiasi mengalami kebuntuan, polisi juga sudah mengeluarkan peringatan sebanyak tiga kali sebelum akhirnya melakukan penindakan dan mengeluarkan surat perintah.
Surat perintah yang dimaksudkan Sandi itu antara lain surat perintah tugas dan surat penggeledahan yang sudah disiapkan. Penindakan dengan mengangkut paksa mahasiswa Papua itu dinilai merupakan upaya terakhir yang dilakukan polisi supaya dialog yang dilakukan dari pukul 10.00 WIB hingga pukul 17.00 WIB tidak membuahkan hasil. Setelah itu, polisi membawa 43 mahasiswa Papua tersebut ke Polrestabes Surabaya.
Menurut Sandi, sebenarnya ia hanya akan membawa 15 mahasiswa Papua untuk dimintai keterangan soal perusakan dan pembuangan bendera. Namun, ada sekitar 30 mahasiswa tambahan asal Papua yang datang ke asrama pada siang hari. Ia pun telah memisahkan 15 mahasiswa Papua di sana yang dinilai berkompeten untuk memberikan keterangan kepada polisi soal adanya perusakan bendera.
“Ternyata mereka tidak mau. ‘Kalau mau dibawa teman kami, bawa kami semua’. Akhirnya, kami bawa semua ke kantor dan kemudian kami periksa maraton,” ujar Sandi.
Dalam pemeriksaan itu, Sandi menyiapkan sepuluh penyidik agar pemeriksaan tidak memakan waktu panjang. Menurut dia, hanya ada satu mahasiswa yang tidak diperiksa lantaran tidak bisa berbahasa Indonesia sehingga polisi pun mengambil keterangan dari 42 mahasiswa asal Papua tersebut.
“Waktu kami periksa, semua dalam keadaan sehat walafiat dan kami kasih makan supaya bisa melihat bahwa kami mengedepankan hak asasi mahasiswa,” tutur Sandi.
Pemeriksaan terhadap puluhan mahasiswa itu selesai pukul 23.00 WIB. Seusai diperiksa, 43 mahasiswa Papua itu langsung dipulangkan pada Minggu (18/8/2019) pukul 00.00 WIB.
“Intinya bahwa kami sudah mengerjakan upaya penegakan hukum untuk mengamankan teman-teman kita supaya tidak terjadi bentrokan massa dengan massa yang lainnya,” ujar Sandi.
Seperti diberitakan, aksi solidaritas Papua muncul di sejumlah kota di Provinsi Papua dan Papua Barat, seperti yang terjadi di Manokwari, Jayapura, dan Sorong, Senin (19/8/2019). Aksi unjuk rasa ini merupakan dampak dari perlakuan diskriminatif dan tidak adil yang dialami mahasiswa asal Papua di Surabaya, Malang, dan Semarang dalam beberapa waktu terakhir. (Bkr/Sfn)