Oleh: Petrus Selestinus, SH*
Tugas utama KPK adalah mencegah dan memberantas korupsi hingga lembaga pemerintah yang menangani tindak pidana korupsi (Polri, Kejaksaan dan Pengadilan) berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberanras tindak pidana korupsi. Untuk itu KPK dibentuk sebagai lembaga yang independen dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan korupsi. Namun demikian meskipun KPK sudah berusia 15 tahun berjalan, KPK belum berhasil memberantas dan mencegah korupsi termasuk belum berhasil membangun suatu sistem pemberantasan korupsi yang efektif dan efisien sesuai dengan wewenangnya yang diberikan oleh UU KPK.
Indikator suksesnya KPK memberantas dan mencegah korupsi terletak pada apakah telah lahir budaya masyarakat khususnya Penyelenggara Negara untuk hidup dan berperilaku anti terhadap perbuatan KKN. Selama masyarakat khususnya Penyelengara Negara masih menjadikan KKN sebagi bagian dari gaya hidup bahkan mengidolakan korupsi sebagai gaya hidup, maka KPK dianggap gagal atau belum berhasil menciptakan sukses dalam pemberantasan korupsi. Selama ini KPK hanya memberantas kejahatan korupsi pada bagian hilirnya saja, tetapi kejahatan nepotisme dan kolusi tidak pernah disentuh, bahkan pasal kejahatan nepotisme dan kolusi malah mati suri. Padahal awal mula dari kejahatan korupsi adalah adanya kolusi dan nepotisme kemudian terjadilah apa yang disebut korupsi, yang selama ini tidak pernah tercabut dari habitatnya.
Memang KPK sering mengekspose keberhasilannya melakukan OTT, akan tetapi sukses OTT itu hanya merupakan sebagian kecil dari kerja KPK yang bersumber dari wewenang KPK yang sangat besar, yang seharusnya bisa dicapai KPK secara masif dalam memberantas korupsi pada bagian hulunya. OTT hanya menangkap koruptor kecil bada bagian hilirnya saja, sedangkan kejahatan korupsi besar pada bagian hulunya di balik kejahatan suap itu tidak terdengar dilakukan oleh KPK. Inilah sebetulnya membuat KPK berada pada posisi sagat dilematis, karena memiliki kekuasaan besar sebagai lembaga penegak hukum superbody, akan tetapi loyo tak berdaya dalam pelaksanaan di lapangan.
OTT memang tidak dikenal di dalam KUHAP, yang dikenal adalah “tangkap tangan” yaitu tertangkapnya seseorang yang tengah melakukan kejahatan atau yang sesaat setelah terjadi kejahatan. Di dalam UU KPK dan UU lainnya kita tidak temukan aturan yang mengatur sebuah mekanisme tentang OTT (Operasi Tangkap Tangan), karena itu OTT KPK itu sebagai sebuah terobosan perluasan dari pengertian “tangkap tangan” terhadap sebuah kejahatan yang tengah terjadi yang boleh dilakukan oleh siapa saja (siapa saja boleh melakukan penangkapan) saat menemukan sebuah kejahatan yang tengah berlangsung.
Namun demikian perluasan pengertian “tangkap tangan” melalui apa yang dinamakan OTT KPK dan berhasil menangkap sejumlah pelaku, namun OTT inipun tidak memberikan efek jera apapun, karena para pelaku kejahatan korupsipun semakin canggih melakukan kejahatan yang tidak dapat diteksi melalui OTT KPK. Bahkan ada indikasi bahwa OTT itu hanya mengungkap kejahatan suap pada bagian hilir sedangkan kejahatan korupsi sebagai pada bagian hulunya tidak terungkap.
Oleh karena itu semua prasangka buruk tentang kinerja KPK, harus dibuktikan melalui sebuah audit forensik terhadap kinerja KPK, guna memastikan sebab-sebab mengapa KPK gagal dalam 15 tahun pemberantasan korupsi. Hasil audit forensik terhadqp kinerja KPK dimaksud diharapkan menjadi bahan refleksi untuk perbaikan kinerja KPK ke depan. Tanpa kita memoerbaiki kinerja KPK inilah yang membuat kejahatan korupsi tidak akan pernah berkurang apalagi berhenti karena ketika KPK menutup lubang yang satu maka akan muncul banyak lubang yang lain dimana KPK tidak memiliki cukup tangan yang kuat untuk menjangkau.
Usul revisi UU KPK dengan melahirkan kewenangan SP3 bagi KPK justru berpotensi memperlemah KPK dalam pemberantasan korupsi, malahan akan muncul kriminalsisasi terhadap sejumlah Penyelenggara Negera hanya untuk kepentingan menjegal lawan.
*Penulis: Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI)