Oleh: Hidelbertus Selly*
Hari Kamis, 21 April 2016, seluruh perempuan dari berbagai kalangan merayakan Hari Kartini. Berbagai desain acara pun disuguhkan di ruang-ruang publik guna memperingati hari ulang tahun Kartini yang Ke 137 tahun.
Maknanya satu, menghormati perjuangan Raden Adjeng Kartini, selama masa penjajahan yang dikenal dengan tokoh perempuan ningrat yang melawan poligami. Hal ini menghendaki agar para perempuan saling berinterospeksi sudahkah perjuangan kartini dinikmati secara utuh.
Momentum ini tidak sekedar ajang seremonial belaka. Sebagai Perempuan Indonesia harus mampu mengkaji dan menganilisis lebih jauh dan mendalam kondisi hidup perempuan hari ini, apakah sudah sesuai dengan cita-cita Kartini? Ataukah Perempuan Indonesia telah terjerembah dalam dunia pragmatis dan hedonisme?
Setiap tanggal 21 April di berbagai beranda media sosial terdapat ucapan Selamat Hari Kartini menggugat para pembaca. Namun, euforia ini bagaikan Ramantisme atas perjuangan Kartini yang hdupnya berakhir pada 1902 dari Bumi Indonesia. Raga Kartini memang sudah mati (Meninggal,red) tapi Jiwa tetap hidup di alam nusantara; semangatnya berkobar-kobar laksana Api di siang bolong.
Jiwa hidup Kartini itu seharusnya menjadi titik tolak seluruh Perempuan Indonesia, dalam menuntut Hak dan kewajibannya sebagai Manusia Indonesia. Namun jangan sampai eksistensi itu mengarahkan kepada semangat yang kebablasan. Sehingga kontruksi sosial budaya keindonesiaan tetap melekat pada sosok perempuan masa kini.
Kartini dulu dikenal dengan korespondesinya yang menggugat dominasi kaum laki-laki di segala bidang terutama melawan poligami, sekaligus mengangat harkat dan martabat perempuan untuk sejajar dengan laki-laki dalam konteks keIndonesiaan.
Hari ini korepondensi ala Kartini diganti dengan Narsisisme Dunia Perempuan yang mengarah pada Generasi Mati Rasa dan Generasi Tutup Mata. Korespondensi dunia perempuan Indonesia hari ini seakan berada pada lorong kesepian malam. Yang seakan belum ada titik terang.
Lilin penerang perjuangan yang dinyala semasa kartini kini seakan dipadam oleh zaman ketika budaya asing masuk menggeroroti sanubari kaum perempuan. Sehingga tercipta menjadi manusia yang konsumtif.
Pada titip ini, sudah saatnya untuk setiap Perempuan Indonesia kembali melakukan retrospeksi, instrospeksi dan proyeksi eksistensi Perempuan Indonesia. Segera sadar diri dan tanggalkan jubah egoistik itu untuk suatu tujuan yang lebih besar yang merupakan kewajiban sebagai perempuan Indonesia.
Terlepas dari menggugat kesadaran Perempuan. Kita semua harus melihat lebih jauh, bahwasannya masalah Perempuan adalah kemanusiaan. Sehingga semua elemen mesti ikut turut tangan mengarahkan eksistensi perempuan dari konsumtif kepada arena yang produktif.
“Jangan Pernah berhenti berjuang; apa yang engku impikan, apa yang engkau harapkan, apa yang engkau cita-citakan, oleh karena engkau seorang Perempuan.” SELAMAT HARI KARTINI 2016..!
*Penulis: Aktivis BaraJP NTT, tinggal di Kupang,NTT.