Cerpen Karya:Karolus Dolu Tien Toulwala
Malam itu, di Pusat Kota Jakarta, sepulang dari sebuah perkampungan rakyat, aku melintasi jalan rakyat dengan bemodalkan sendal jepit. Aku berjalan sambil menikmati kota metropolitan itu. Sepanjang jalan itu tampak gelap, karena tanpa lampu penerang jalan yang difasilitasi negara, ataupun kelurahan setempat. Dijalan itu, hanyalah kumpulan sampah di sepanjang trotoar jalan.
Di kiri-kanan, terdapat warung-warung rakyat, dengan lampu remang-remang. Seisi warung itu kebanyakan menjual berbagai jenis obat kuat alias tahan lama, untuk kebutuhan pria hidung belang dan wanita dompet elang. Ada juga berbagai jenis minuman keras yang bermerk kelas, maupun bermerk oplosan, berjejer rapi di dalam rak warung itu. Berbagai jenis rokok, baik produk internasional, maupun inter lokal, juga turut meramaikan seisi warung tersebut.
Aku sempat menghentikan langkah kakiku. Aku terkejut, di sebuah pusat republik, ternyata punya banyak pusat yang mencuat. Lensa mataku memotret pusat seorang wanita yang sedang duduk di sebuah bangku teras warung tersebut. Hasil potretan lensa mataku langsung dikirim ke otakku. Sekejab saja otak kecilku memerintahku untuk menghampirinya. Semakin dekat, semakin nampak kecantikannya. Wanita itu, melototiku, sambil menunjukan senyum manisnya. Aku yakin wanita itu sangat ramah. Menyapa dan menyambutku dengan senyum yang polos.
Yeach.., semakin mendekat, maka semakin kukenali wanita itu. Wanita yang biasa disapa ‘Lonte Jalanan’ oleh para intelek bermoral maupun tak bermoral. Namun, aku tak mau peduli dengan segala urusan pelabelan wanita itu. Intinya, aku mau berkisah dengannya. Kami bercerita sambil berkisah.
Yeach…, memang kisah kami berbeda, tapi tujuan profesi kami sama. Aku begitu terpukul, ketika ia menceritakan bahwa ia tak punya rumah, tak punya orang tua, bahkan tak punya akte kelahiran, dari dispenduk setempat. Ketika usianya yang ke-17 tahun, ia baru mengenal yg namanya hidup di sebuah negara merdeka. Kemerdekaan dan kebebasan baginya, di sebuah negara merdeka, adalah bertarung hidup dengan sex.
Sex adalah kehidupan dan kemerdekaan baginya. Ia begitu merdeka, walaupun tak pernah bersekolah.
Kisah kami pun harus berakhir, karena kedatangan sebuah mobil berplat merah putih, yang memotong pembicaraan kami. Wanita itu langsung bergegas menuju ke arah pintu mobil itu. Seketika, ia sudah berada di dalam mobil tersebut. Aku tidak tahu jelas, siapa yang datang menjemput wanita itu. Namun aku bisa menebaknya, yang datang menjemput wanita itu adalah Para Jabat di Republik ini. Dugaanku bisa saja benar. Pada bagian depan pintu kanan mobil, terlihat sebuah dasi berwarna putih yang masih terjepit di daun pintu mobil elit itu.
Hhhmmm…., memang wanita itu sangat luar biasa. Ia begitu merdeka dengan hidupnya. Ia begitu berdaulat dengan tubuhnya sendiri. Berparas cantik, berambut panjang kecoklat-coklatan, menutupi belahan dada yang terbungkus kaku sehelai baju polos berwarna merah kirmizi. Yeach, aku hanya bisa mengagumimu wanita cantik, walau aku hanya memiliki nomor handphonemu. (***).