Pemilu dan Lemahnya Agenda Pemberantasan Korupsi

by -85 Views

Oleh: Rian Agung*

Salah satu catatan buruk menjelang pemilihan umum 2019 yang sudah di depan mata, baik Pemilihan Presiden (Pilpres) maupun Pemilihan Legislatif (Pileg)  adalah banyaknya pejabat publik yang tersandung kasus korupsi. Tercatat, pejabat publik dengan jabatan politis strategis seperti Kepala Daerah (Gubernur dan Bupati), DPR dan DPRD, paling banyak menoreh prestasi buruk dengan modus korupsi. Ihwal ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat, selama tahun 2018, dalam rentang waktu Januari hingga pertengahan Juli,  ada sekitar 19 Kepala Daerah yang ditetapkan menjadi tersangka karena korupsi.

Dari jumlah itu, sebanyak 15 di antaranya berawal dari Operasi Tangkap Tangan (OTT). Selebihnya terciduk lewat penyelidikan dan penyidikan. Di tahun yang sama, dari Januari hingga Maret, KPK juga telah memperoses sebanyak 60 orang anggota DPR dan DPRD terkait dengan tindak pidana korupsi. Jumlah tersebut tidak termasuk dengan korupsi berjamaah yang menyeret sejumlah anggota DPRD Sumatra Utara, DPRD Kabupaten Malang dan yang teranyar korupsi berjamaah yang diduga dilakukan DPRD Provinsi Jambi.

Banyaknya pejabat publik dan penyelenggara negara yang terseret korupsi memang cukup ironi dan memperihatinkan. Ironi karena kita sebenarnya mempunyai banyak undang-undang (UU), peraturan pemerintah (PP) dan instruksi presiden (Inpres) untuk mencegah dan menindak pelaku korupsi. Misalnya, UU Nomor 28 tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang bebas KKN. UU Nomor 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 Tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. PP No. 19/2000 Tentang Pembentukan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU No. 15/2002 Tentang Pencucian Uang. UU Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tahun 2002. Pemerintah juga telah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 tahun 2004 Tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Inpres tersebut pada dasarnya menghendaki adanya percepatan pemberantasan korupsi yang selama ini tersendat-sendat.

Di samping itu, kita juga mempunyai banyak badan-badan dan komisi-komisi untuk menangkal kejahatan korupsi. Namun semua itu seakan-akan sia-sia belaka. Korupsi tetap jalan terus. Setiap saat kita menyaksikan KPK,  dan Kepolisian menciduk dan menangkap koruptor. Di sisi lain fenomena ini sangat memprihatinkan karena DPR yang seharusnya menjalankan fungsi pengawasan terhadap kerja eksekutif justru berkolaborasi untuk melakukan korupsi. Dan tentu saja, terkait korupsi berjamaah di atas, imbasnya tidak hanya menyasar masyarakat di daerah-daerah tersebut, tetapi menimbulkan ketidakpercayaan rakyat kepada hampir semua parlemen di daerah.   

Ketidakberpihakan parpol

Sebenarnya partai politik (parpol) menjadi  salah satu kunci utama untuk mematikan gerak langkah koruptor di negeri ini menjelang pemilu. Hal ini menyusul upaya KPU untuk membersihkan lembaga legislatif seperti DPR, DPRD dan DPD dari kejahatan korupsi yang harus kandas di tangan Mahkamah Agung. Sebagaimana diketahui, MA menganulir peraturan KPU yang melarang  eks narapidana korupsi maju sebagai calon legislatif di Pileg 2019. Larangan itu tertuang dalam Pasal 4 ayat (3), Pasal 7 huruf g Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD Kabupaten/Kota dan Pasal 60 huruf j Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPD terkait larangan mantan narapidana kasus korupsi, bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak.

Putusan MA ini membuat publik terhenyak, lantaran harapan masyarakat akan parlemen yang bersih dari koruptor pupus sudah. Pasca dikeluarkannya putusan itu, tumpuan agar lembaga wakil rakyat itu diisi oleh individu yang bersih dari praktik kejahatan korupsi ada di tangan partai politik (parpol).

Parpol memiliki peran besar dalam mendaftarkan caleg-calegnya ke KPU. Harapannya adalah, parpol akan menjadi filter terakhir agar tak mendaftarkan caleg berlatar belakang koruptor. Namun, sayangnya Parpol tidak menunjukan keberpihakannya untuk itu. Bukannya tunduk pada peraturan, mereka berkukuh mencalonkan politikus korup sembari berharap KPU tak akan mengecek rekam jejak mereka. Dari dua belas partai politik yang turut serta dalam pemilu, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) adalah satu-satunya partai yang tidak mencalonkan caleg korup. Sejauh ini, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sudah menyaring 199 caleg korup—mayoritas berasal dari partai Golkar dan Gerindra.

Selain itu, pakta integritas yang menjadi komitmen bersama seluruh parpol untuk mencegah korupsi justru diingkari. Sebagain parpol justeru dengan enteng berdalih tak tahu menahu calegnya korup dan tak sengaja melewatkan fakta sepenting ini dalam proses seleksi. Ini jelas ironis sekali sebab sebagian besar partai tersebut dengan terang-terangan mengumumkan akan tetap mencalonkan beberapa caleg korup sebelum proses seleksi digelar.

Jika mengharapkan yang ideal, mestinya partai politik lah yang melakukan penyaringan pertama, memastikan calon yang mereka ajukan terbebas dari kasus korupsi. Sayangnya, yang terjadi di Indonesia tak seperti itu. Ketidakberpihakan sejumlah parpol untuk menolak korupsi dengan ngotot mengusung bekas terpidana korupsi sebagai Bupati, Wali Kota, Gubernur, DPR dan DPRD memperlihatkan lemahnya agenda pemberantasan korupsi menjelang pemilu. Pada hal korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang memiliki dampak yang luar biasa fatal. Dan, satu yang pasti, oleh korupsi, rakyat kehilangan akses untuk memperoleh hidup yang sejahtera.

Rakyat Harus Berani Bersuara

Wajah kepala daerah, baik gubernur, bupati wali­kota, DPR maupun DPRD dalam pidana korupsi memang sangat me­nge­cewakan. Atas dasar itulah kita memilih sistem demokrasi karena kita percaya bah­wa ini adalah sistem yang terbaik bagi negara kita. Kita juga mengubah sistem pemilihan kepala daerah dari sistem perwakilan menjadi secara langsung pada Era Reformasi ini karena ingin memerangi politik uang yang membudaya dalam pemilihan kepala daerah oleh lembaga legislatif semasa Orde Baru. Tapi, tampaknya, hasil pelaksanaan sistem pemilu ini masih jauh dari harapan.

Bahkan, tidak sedikit pihak yang mengatakan, pilkada Era Reformasi lebih buruk dibandingkan Orde Baru. Ini ditandai dengan maraknya politik uang. Malah, bukan hanya terjadi dalam pilkada, melainkan juga dalam pe­mi­lihan anggota legislatif di seluruh tingkat perwakilan. Ke­adaan ini tercermin dari politik transaksional yang umumnya diduga kuat dilatarbelakangi keinginan meraup keuntungan finansial oleh para pelakunya. Wajah buruk ini juga terlihat dari kasus korupsi dalam berbagi variannya dalam per­se­kong­kolan jahat oleh lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Meski demikian, kita harus tetap optimistis. Perilaku men­coreng wajah demokrasi kita di atas jangan sampai mem­buat kita mundur lalu mengganti sistem yang ada saat ini dengan yang lain. Keyakinan bahwa demokrasi memungkinkan terciptanya pemilu yang transparan sebagai praksis terbaik bagi bangsa ini, harus dipertahankan bahkan diperkuat. Tentu, caranya ialah dengan memperbaiki berbagai kelemahan tersebut.

Karena itu pula, dalam Pemilu Legislatif dan Pilpres 2019, publik harus berani bersuara. Pilihlah sosok caleg yang terutama dikenal bersih secara luas. Publik juga harus menolak politik uang, baik dalam pilkada maupun pemilihan legislatif. Karena, bila kita menerimanya, itu menjadi pintu masuk tetap berkembang dan suburnya korupsi dalam pemilu. Dalam bahasa awam, sebagai pemilik kedaulatan, kita jangan mau “dijengkali” oleh sosok-sosok tidak bertanggung jawab yang justru akan memimpin kita!

*Penulis: Mahasiswa Hukum Semester VI Universitas Esa Unggul, Jakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *