SUARAFLORES.NET,–Menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada), pemilu legilatif (Pileg) dan atau pemilihan presiden (Pilpres) 2019, para klerus (Imam, Uskup, dan Diakon) Katolik Roma kadang mengalami kritikan karena diduga terlibat dalam politik praktis melalui kata, perbuatan dan sikap yang mendukung politikus tertentu.
Hal tersebut, kata Pastor P. Felix Mikael Kosat, SVD,JIC, sering menyangkut peran para klerus di paroki. Klerus yang bertugas di paroki memang sangat mungkin terlibat ketika menghadapi situasi yang menyangkut kepentingan umum masyarakat (bonum commune).
“Klerus harus mendorong umat untuk ikut terlibat dalam pilkada, pileg dan atau pilpres (Pemilu 2019) secara cermat, supaya jangan asal pilih. Harus perhatikan kualitas dan moralitas calon pemimpinnya. Umat harus menggunakan nurani yang benar dalam ” kata Felix Kosat, pastor kelahiran Kefamenanu, Timor Tengah Utara (TTU), NTT, yang telah lama bertugas di Amerika Serikat melalui ponselnya, belum lama ini.
Menurut Pastor yang kini bertugas di Bordentown, New Jersey ini, klerus harus membela kepentingan gereja kalau kepentingan gereja dan pewartaannya terancam, misalnya ada calon pemimpin (executive atau legislative) yang mendukung keputusan moral yang bertentangan dengan ajaran gereja Katolik, misalnya pemimpin yang mendukung aborsi, perkawinan sesama jenis, hukuman mati dan tidak mendukung kebebasan beragama.
Pastor Felix Kosat menegaskan, peranan Klerus di paroki sering disalah tafsir, misalnya satu pastor paroki seolah terlibat politik praktis mendukung salah satu calon, dan itu dijadikan issu seolah-olah semua klerus Katolik berpolitik.
“Klerus di paroki tidak mewakili semua klerus gereja Katolik. Klerus juga harus tahu dan sadar bahwa pemilu itu Langsung Umum Bebas dan Rahasis (LUBER) sering seolah klerus adalah musuh awam katolik. Seharusnya saling melengkapi,” kata pastor yang telah mendalami Studi Hukum Kanonik di The Catholic University of America, Washinton D.C ini, Amerika Serikat ini.
Pastor paroki, lanjut Pastor Felix, juga sering tak diperhitungkan peranannya dalam politik, dimana umat Katolik adalah minoritas dalam jumlah. Pengaruh klerus atau pastor paroki juga berbeda beda dari paroki yang satu dengan paroki lainnya, malah peran klerus dalam bidang politik kadang seperti “suara yang berseru di padang gurun,” tak begitu terdengar atau berpengaruh. Karena, setelah mendapat kedudukan, pastor tidak pernah ditanya lagi sumbangan pemikiran yang positif untuk pembangunan di daerah.
Ditegaskan Pastor Felix, dalam Hukum Kanonik, kanon 285 melarang klerus terlibat politik praktis, misalnya menjaldi calon legislatif atau bupati, gubernur dan presiden. Dan dalam Kanon 287 mewajibkan klerus untuk menjaga keharmonisan dan perdamaian atas dasar keadilan dalam tugasnya, dan tidak ikut dalam kepengurusan dan kegiatan satu partai politik. Oleh karena itu, pastor (klerus) harus berdoa agar pemilihan berjalan sesuai UU, aman dan tertib.
Satu pertanyaan reflektif, tambah Pastor Felix, apakah dalam UUD atau UU pemilu ada larangan bagi para pemimpin agama untuk terlibat secara praktis dalam politik, seperti Ustad, Pendeta dan para Klerus Katolik?” Tanya Pastor Felix yang adalah Hakim Gereja Katolik di Tribunal Keuskupan Trenton, New Jersey ini. (*bkr/sfn)