“Pemilihan umum telah memanggil kita, seluruh rakyat menyambut gembira…” Lagu ini selalu dinyanyikan atau disiarkan ke seluruh penjuru Tanah Air Indonesia setiap kali pemilu digelar. Dari pemilu tahun 1955 hingga 2019, lirik lagu ini masih menjadi lagu wajib yang disiarkan penyelenggara pemilu. Lagu yang terus dinyanyikan hingga pemilu ke 12 dalam sejarah pemilu Indonesia ini, mempunyai dua pesan khusus yaitu pertama, pemilu sebagai ajang demokrasi, dan kedua Pemilu adalah pesta rakyat yang gembira. Pemilu yang diikuti 16 parpol dengan total jumlah pemilih 192 juta ini menjadi ajang pesta demokrasi terbesar yang harus riang ke gembira.
Bagi negara Indonesia yang berdasarkan ideologi Pancasila yang telah memprokamirkan diri sebagai sebuah negara demokrasi, pemilu adalah satu instrumen untuk membentuk kekuasaan pemerintahan. Fakta ini telah terdokumentasi rapih dalam lembaran sejarah perjalan bangsa, dimana pemilu sebagai ajang demokrasi telah melahirkan kekuasaan presiden, wakil presiden, kabinet, dan para DPRD hingga DPR-RI dari masa ke masa. Pemilu yang adalah arena politik bagi partai-partai politik (parpol) menyodorkan kader-kadernya kepada rakyat baik, calon presiden dan wakil presiden maupun calon-calon DPR untuk dipilih oleh rakyat.Parpol sebagai peserta pemilu berlomba-lomba dalam festival akhbar demokrasi lima tahunan ini, berlomba-lomba meyakinkan rakyat dengan berbagai cara.
Bahkan, acapkali karena libido berkuasa yang meluap-luap, cara-cara negatif pun dilakoni demi meraup suara sebanyak-banyak dan menjadi pemenang. Tragisnya, rambu-rambu yang ditetapkan KPU sebagai wasit pertandingan, dan Bawaslu sebagai pengawas seringkali juga diabaikan. Potret buram ini, sudah sering terjadi dalam setiap kali festival demokrasi terbesar ini digelar, yang berujung pada konflik horisontal dan vertikal, kerusuhan, aksi-aksi demonstrasi, intimidasi, teror dan kekerasan sampai mati dan hilangnya nyawa manusia dan harta benda menimbulkan keresahan dan melumpuhkan aktivitas ekonomi Indonesia, dan kemudian dikendalikan oleh militer. Akhirnya, kekebasan rakyat pun terpasung dalam belenggu miterisme.
Di era rezim orde baru berkuasa, pemilu terekam sejarah (buka file-file sejarah pemilu di jaman orde baru), menjadi ajang yang sangat menakutkan, mencekam dan angker bagi rakyat. Pasalnya, aroma perselingkuhan antara penyelenggera, pengawas, parpol, pemerintah dan militer sangat kental. Dari tiga kontestan (Golkar, PDI dan PPP), Golongan Karya (Golkar) terus menerus menjadi pemenang pemilu, tak terkalahkan selama era Rezim Soeharto berkuasa kurang lebih 32 tahun. PDI dan PPP menjadi dua partai peserta pemilu yang hanya ikut ramai puluhan tahun, karena tidak pernah mampu mengalahkan dominasi dan arogansi kekuasaan orde baru militeris yang dikendalikan Golkar. Kedua partai ini hanya sebagai penghubur pemilu saja.
Yang paling sadis lagi, dalam setiap kali pemilu di jaman orde baru digelar, kampanye hitam untuk menyerang PDI sangat masif dan sistematis, isu PKI disebarluaskan ke desa-desa hingga dusun-dusun, baik di atas panggung kampanye maupun di berbagai media masa kala itu, dan opini yang dibentuk di tengah masyarakat. PDI sebagai partai yang dianggap mengancam kekuasaan orde baru dan golkarnya, dicap sebagai partai PKI.
Sebagai contoh, kisah nyata yang terjadi di Desa Iligai, Puho, Kecamatan Lela Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT). Pada pemilu tahun 1982, Frans Babanong, salah satu kader militan PDI dari kampung paling udik itu menjadi Caleg DPRD Sikka. Karena Frans adalah orang atau kader PDI, maka seluruh keluarganya merasa tidak aman karena mendapat cap isu hitam PKI yang selalu ramai jelang pemilu. Di musim kampanye, Frans yang vokal dan kritis selalu dibuntuti para intel yang nota bene militer berkuasa. Bahkan, lebih parah lagi, tiga orang saudaranya (Robert, Johanes dan Padeng) harus terpaksa minum pil pahit. Ketiganya menjadi korban intimidasi, teror dan penganiyaan karena dianggap sebagai keluarga Frans yang mendukung PDI yang terus dituding PKI. Oleh Hansip dan tentara, ketiganya disuruh buka baju dan melepaskan sarung, setelah itu dihukum merayap di atas jalan tanah berbatu beralaskan celana dalam yang disaksikan seluruh warga desa. Mendengar itu, Frans marah dan protes, namun tak bisa berbuat banyak. Frans akhirnya tidak lolos ke DPRD Sikka dalam pemilu itu. Kisah isu PKI terus menggelinding hingga pemilu berikutnya, intimidasi dan teror terus digulirkan hingga berujung pada Litsus yang dilakukan militer (polisi) terhadap kader-kader PDI yang ikut caleg. Setelah berjuang berpuluh tahun ikut pemilu dalam belenggu militerisme dan kekusaaan Golkar Orde Baru, baru pada pemilu 1999, Frans terpilih menjadi anggota DPRD Provinsi NTT dari PDIP setelah PDIP pimpinan Megawati Seokarnoputri memenangkan Pemilu 1999, pasca gerakan aktivis mahasiswa di Jakarta menggulingkan rejim Soeharto pada 1998 yang berujung pada hilangnya nyawa banyak orang. Kondisi yang dialami Frans, hanyalah satu contoh kecil dari ribuan bahkan jutaan onggokan kasus pengalaman pemilu buruk, penuh ketakutan yang dialami rakyat Indonesia di kala orde baru berkuasa penuh. Itulah secuil kisah pemilu di masa orde baru.
Pascah Golkar dan orde barunya runtuh, ledakan demokrasi pun terjadi dengan munculnya puluhan partai politik peserta pemilu. Pemilu di 1999 mulai terasa segar dengan era baru, di mana rakyat kembali menemukan kebebasannya yang terpasung selama kurun waktu 32 tahun. Kegembiraan mulai terasa, bak aliran deras air dari bendungan besar yang pecah. Hal itu karena rakyat merasa bebas tanpa intimidasi, teror dan isu PKI. Era baru Reformasi membuat pesta demokrasi lebih beraroma kemerdekaan rakyat. Meskipun berbagai masalah atau pelanggaran masih terjadi, namun sudah terasa jauh lebih baik dari pemilu di era orde baru yang penuh ketakutan. Sejak Presiden BJ. Habibie, Gus Dur, Megawati Soekarnopurti, dan Susilo Bambang Yudoyono (SBY), kualitas kebebasan individu dan jatid diri Pers yang terpasung di era orde baru telah menemukan roh kekebasannya. Kualitas setiap pemilu makin membaik, dan kualitas demokrasi pun terus bertumbuh hingga mengantar Ir.H. Joko Widodo dan Drs. H.Muhammad Jusuf Kalla (diusung PDIP, NasDem, PKB, Hanura, PPP) terpilih menjadi presiden dan wakil presiden pada pemilu 2014 setelah mengalahkan Capres Prabowo Subianto-Harta Rajasa (diusung Partai Gerindra, PAN, PKS, Partai Golkar dan Partai Demokrat).
Meski kala itu suasana politik di tanah air terasa sangat panas akibat ketegangan politik antara kubuh Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Namun, berkat sikap negarawan dan sikap kedewasaan dalam berdemokrasi yang mengedepankan kepentingan bangsa dan negara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, kedua kubuh pun mencair dalam kedamaian sebagai sesama anak bangsa. Tentunya, sikap politik ini perlu dipertahankan terus dan diwarisi dari pemilu ke pemilu di Indonesia.
Pemilu sesungguhnya adalah pestanya rakyat. Mengapa? hanya rakyat yang memiliki kedaulatan tertinggi di dalam sebuah negara yang demokrasi. Dalam pesta rakyat ini, KPU dan Bawaslu ditugaskan sebagai penyelenggara atau wasit pertandingan yang dibiayai dengan uang negara dari rakyat. Sementara itu, partai-partai politik sebagai peserta pemilu diharapkan tidak mengangkangi aturan yang ada, dan antara KPU, Bawaslu dan Parpol juga tidak boleh berselingkuh agar pesta demokrasinya rakyat tidak dinodai dengan kecurangan, perselingkuhan busuk yang kemudian merusak kualitas konstruksi politik yang telah dibangun berpuluh-puluh tahun, yang tentunya telah mengorbankan banyak nyawa, uang negara dan harta benda yang tak ternilai.
Ibarat dalam sebuah hajatan atau pesta, jika pesta tersebut berjalan dari awal hingga akhir dengan riang gembira, maka akan menjadi cerita sejarah indah yang selalu dikenang tuan pesta dan undangan atau peserta pesta maupun semua orang yang menyaksikan pesta tersebut. Namun, jika terjadi kekacauan di dalam tenda pesta itu, akibat mabuk alkohol, keracunan makanan dan minuman, terjadi perkelahian orang rebutan kekasih, menjadi ajang balas dendam antar pemuda, atau juga lampu mati akibat gangguan PLN, atau terjadi bencana alam angin puting beliung yang memperok-porandakan tenda pesta, maka sejarah kelam pasti akan terus diceritakan dari waktu ke waktu. Nah, kondisi buruk dalam pesta itu tidak boleh terjadi dalam pemilu 17 April 2019 nanti.
Pemilu sebagai pestanya rakyat Indonesia harus berlangsung aman, damai dalam suasana yang riang gembira. Pasalnya,pemilu bukan sekedar pestanya rakyat untuk memilih presiden dan wakil presiden atau para anggota DPR, tetapi lebih dari itu berkaitan erat dengan keberlangsungan perjalanan Negara dan Bangsa Indonesia yang kini memasuki usia senja, berkaitan erat dengan kesejahteraan rakyat melalui program-program pemerintahan, dan yang paling terpenting adalah menentukan eksistensi ideologi Bangsa Indonesia, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Memang harus diakuai, tantangan terbesar pemilu di era digital ini jauh berbeda dengan tempo dulu. Jika puluhan tahun silam, informasi pemilu hanya melalui panggung kampanye partai, surat kabar dan radio, di era ini sudah berhamburan di jagat media sosial yang masif. Ada dampak positif, namun lebih berbahaya adalah virus bodong yang membawa dampak negatif yang membeawa dampak perpecahan antar anak bangsa karena dipakai menjadi ajang caci-maki, ajang fitnah, ajang berita bohong (Hoax), dan ajang saling mengumbar kebencian dan permusuhan sara. Sejak tahun 2018 lalu, perang isu dan counter isu sangat seruh dan telah menimbulkan keresahan dan ketakutan di kalangan rakyat.
Oleh karena itu, publik atau rakyat sebagai pemilik pesta demokrasi, dalam jagat media sosial, juga terus berharap suasana pesta demokrasi rakyat yang penuh kegembiraan (riang gembira) kali ini, jangan sampai atau tidak boleh dinodai dengan kecurangan, keresahan, teror dan ketakutan bahkan sampai terjadi kerusuhan yang membuat Bangsa Indonesia terpuruk di mata dunia dalam membangun dan mempertahankan peradaban demokrasinya. Kisah-kisah kelam pemilu di masa lalu (orde baru-red), tentunya harus dijadikan patokan dalam membangun kualitas demokrasi kita. Kita harus melihat ke depan bersaing dengan bangsa-bangsa lain yang terus maju. Apa yang disampaikan Presiden Ir. Joko Widodo dalam pidatonya di berbagai penjuru muka bumi Indonesia bahwa ‘Pemilu Harus Gembira, Pemilu harus Damai dan Aman,’ menyampaikan pesan kepada seluruh rakyat bahwa kualitas demokrasi kita sudah jauh lebih baik. Di mana rakyat sudah merasakan kedamaian dan keamanan yang penuh kegembiraan. Jokowi dalam pidatonya di Gelora Bung karno (GBK) pekan kemarin, juga mengingatkan dan mengajak seluruh rakyat Indonesia harus menggunakan hak suaranya. Oleh karena itu tidak perlu merasa takut ke TPS karena situasi keamanan dan kedamaian dijamin oleh aparat Polisi dan TNI sebagai penjaga NKRI.
Untuk itu, demi terciptanya pemilu yang aman, damai dan gembira, maka para penyelenggara Pemilu (KPU dan Bawaslu), aparat TNI dan POlRI, Aparatus Sipil Negara (ASN) sebagai pelaksana maupun pengawas dan penjaga stablitas keamanan, sangat diharapkan menjalankan tugasnya sebaik-baiknya dengan sikap netral dan menjungung tinggi aturan dan perundangan dengan jiwa dan semangat persatuan dan kesatuan nasional bendasarkan Pancasila dan UU 1945. Selanjutnya, kepada para calon presiden dan wakil presiden, Ir. Joko widodo-Maruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, serta seluruh caleg dari partai-partai pengusung yang menjadi pelaku pertandingan demokrasi di babak final 17 April 2019 nanti, meski politik terus panas membara di kepala, namun harus tetap dingin dengan hati yang sejuk menerima kemenangan dan menerima kekalahan seperti yang telah ditandatangani dalam Fakta Integritas di KPU, itulah yang harus dijaga dengan sikap konsisten.
Semangat fair play, semangat jiwa besar dan semangat kenegarawanan harus dipegang teguh, demi keberlangusugan hidup negara dan bangsa. Tidak boleh seperti pepatah yang berbunyi,”Gajah Berkelahi Pelanduk Mati di Tengah.”Jika itu terjadi, maka kegembiraan rakyat menjadi duka lara dan tangis pilu. Jika itu terjadi, maka kegembiraan hanya seperti balon-balon udara yang kosong, terbang lalu kempis dan hilang lenyap. Dan kita akan dikendalikan dan dikuasai oleh bangsa-bangsa asing yang telah lama menginginkan Indonesia pecah-belah.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo,, belum lama ini, mengatakan, Indonesia menjadi teladan negara seluruh dunia dalam membangun peradaban demokrasi. Pasalnya, sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, Indonesia mampu melaksanakaan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara serentak dengan tingkat partisipasi masyarakat yang sangat tinggi. Prestasi ini harus dipertahankan terus sehingga demokrasi Indonesia tetap kokoh dan lintasan sejarah dunia.
Pemilihan umum telah memanggil tita, seluruh rakyat menyambut gembira. Pilihlah wakilmu yang dapat dipercaya. Siapapun yang terpilih adalah pilihan rakyat Indonesia yang sedang berpesta. Mari kita ciptakan pemilu bersih, pemilu damai, pemilu aman demi tegaknya Pancasila dan keutuhan NKRI. Selamat memilih, Salam Indonesia Jaya. (Bungkornell/ suaraflores.com)