Setiap agama atau kepercayaan pasti memiliki cara atau tradisi untuk melakukan pembersihan diri atas semua salah dan dosa. Cara ini juga dilakukan oleh para warga di Komunitas Marapu yang disebut dengan Pajura. Ritual Pajura dimulai dari saat bulan Purnama di bulan Agustus dan baru akan berakhir saat bulan gelap di bulan Oktober setiap tahunnya.
Bagi warga Marapu di Desa Kabukarudi, Kecamatan Lamboya, Sumba Barat, upacara Pajura diyakini sebagai momentum untuk menyesali atas semua dosa dan kesalahan yang telah diperbuat. Perayaan ini ditandai dengan sejumlah tahapan kegiatan sebelum perayaan puncak Pajura. Ketika memasuki masa Pajura, warga Marapu tidak akan menumbuk padi dan membunyikan musik mulai jam 6 sore hingga keesokan harinya. Hal ini untuk memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk merefleksi diri apakah selama ini sudah pernah melakukan kesalahan kepada sesama, orangtua, alam semesta dan Tuhan Sang Pencipta. Diharapkan dengan kesunyian ini setiap orang akan bisa menemukan berbagai kesalahan baik pikiran, perkataan maupun perbuatan dan selepas itu akan bertobat untuk tidak berbuat dosa lagi dan bisa hidup bersih di hadapan Tuhan.
Seorang warga Desa Kabukarudi dari Komunitas Marapu, Isak Kode Yane (42), mengemukakan, sebelum perayaan Pajura biasanya diawali dengan upacara Magowo Masal atau upacara tangkap ikan di muara. Pada saat Magowo ini digelar, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, laki-laki maupun perempuan akan turun ke muara untuk tangkap ikan. Saat di muara, seorang Rato (Kepala Suku atau Imam Marapu) akan membuang jala sebanyak tiga kali dan setelah itu warga lain baru bisa diperkenankan masuk air.
Saat ditemui di Kabukarudi pada Minggu (17/2) siang, Isak Kode Yane (42), menjelaskan, warga Marapu dari Desa Kabukarudi biasanya sebelum ke muara akan turun melalui Sodan dan akan menyinggahi persawahan Kadange untuk melakukan sesajian dalam bentuk persembahan sirih pinang kepada para arwah atau leluhur. Pada saat itu, seorang Rato akan memberikan sirih pinang sambil mengucapkan doa dan pengharapannya agar para arwah merestui rangkaian kegiatan Pajura. Setelah ritual pemberian sirih pinang ini, Rato bersama warganya akan berangkat menuju muara. Di muara yang berada di tepi laut ini mereka bersuka cita menangkap ikan dari pagi hingga sore hari. Selanjutnya, pada sore hari warga bersama Rato akan pulang ke rumah masing-masing untuk memasak ikan hasil tangkapannya dengan cara direbus dan makan bersama keluarga. Upacara Magowo masal ini dilakukan 1 minggu sebelum melakukan ritual Pajura. Selain Magowo masal, pada satu hari sebelum kegiatan Pajura, warga setempat juga akan turun ke kali atau sungai untuk menangkap ikan. Ini adalah bagian dari prosesi ritual Pajura.
Pada puncak perayaan Pajura, akan ada dua sesi yakni sesi yang dikhususkan untuk anak-anak dan sesi untuk orang dewasa. Yang dilakukan saat Pajura ini adalah tinju masal di sebuah arena terbuka yang terdiri dari 6 pasang atau pasangan tinju tidak boleh ganjil. Tinju masal ini tidak ada batasan waktu atau ronde seperti tinju professional lainnya. Para pemuda yang bertinju sangat menghargai sportifitas. Artinya yang kalah akan mengakui yang menang dan tidak ada dendam setelah pertandingan. Event Pajura ini biasanya digelar selama satu hari dan menjadi ajang mencari pasangan. Para gadis akan tentu akan menyukai pemuda yang menurutnya gagah dan sukses di arena Pajura. Jadi, moment ini dimanfaatkan kaum muda-mudi untuk mencari jodoh. Selepas Pajura, warga baru diperbolehkan memukul gong, menumbuk padi atau membunyikan musik dan melakukan pekerjaan seperti biasanya.
Nah, para travelers, sudahkah anda menyaksikan Pajura? Jika belum, silahkan agendakan waktu dan datang ke Sumba sebelum bulan purnama di bulan Agustus. Warga Sumba tentu dengan senang hati menyambut dan menyapa, dan yang pastinya para travelers akan puas karena seperti berada di rumah sendiri. Selamat Datang di Pulau Sumba negeri para rato. (Penulis: Silvester Nusa)