SUARAFLORES.COM,-Gemuruh mesin pesawat Citilink yang terbang membelah langit biru dari Bandara Internasional Soekarno Hatta mendarat mulus di Bandara Juwata, Tarakan, Kalimantan Utara . Setelah transit sejenak di Bandara Internasional Sultan Aji Muhammad Sulaiman Spinggan Balikpapan, Kalimantan Timur, kurang lebih 2,5 jam melintasi langit biru, para penumpang pun meninggalkan kursi pesawat menuju terminal kedatangan Bandara Internastional Juwata. Bandara besar nan megah di batas negara Indonesia-Malaysia itu dibangun di era Presiden Joko Widodo.

Dari bandara Intenational Juwata, sebuah mobil furtuner bernomor polisi KU 1295 B telah menunggu lama, dengan mobil hitam tersebut media ini pun bergegas menuju sebuah pelabuhan laut yang terletak di tepi barat Kota Tarakan. Kurang lebih 30 menit menikmati keramaian Kota Tarakan yang apik nan indah, media ini tiba di pelabuhan kapal cepat yang telah ramai dengan para penumpang yang akan berangkat ke Tanjung Selor. Setelah membeli tiket, tak lama menunggu, semua penumpang tujuan Tanjung Selor masuk ke dalam ruang kapal cepat. Mesin kapal dihidupkan sang juru kemudi dan bergerak perlahan keluar dari area pelabuhan dan dipacu menuju Tanjung Selor, Ibu Kota Provinsi Kalimantan Utara.
Menurut para penumpang yang setiap hari lalu-lalang di atas permukaan Sungai Kayan, perjalanan menuju Tanjung Selor memakan waktu 1,5 jam. Bagi orang baru, perjalanan dengan kapal cepat ini sangat mengesankan dan menantang. Pasalnya, sungai Kayan tersebut sangat lebar dan panjang. Sungai ini berhulu di Gunung Ukeng dan bermuara di laut Sulawesi. Panjang sungai ini sekitar 576 Km. Meski tak ada ombak dan gelombang seperti di permukaan lair laut, tetapi kecepatan kapal terasa seperti melompat menerjang air di kala berpapasan dengan kapal-kapal motor lainnya yang melintasi sungai Kayan. Bagi warga lokal yang telah lama menetap di Tanjung Selor, kondisi tersebut sudah biasa atau sudah menjadi makan minum sehari-hari, karena tidak ada lagi jenis transportasi lain selain kapal motor bermesin jet tersebut.
Letak ibu Kota Tanjung Selor dan Kota Tarakan yang dipisahkan dengan sungai Kayan tersebut, memaksa warga yang ingin ke Kota Tarakan atau sebaliknya ke Tanjung Selor mau tidak mau menumpang kapal motor cepat tersebut karena tidak ada jalan darat atau pun jembatan penghubung yang dibangun. Di kala musim hujan dan arus sungai Kayan meningkat, arus lalu lintas di sungai Kayan terhenti sejenak. Kalau pun juru mudi kapal nekat beroperasi, ancaman maut sudah pasti menghadang karena arus sungai yang kencang sudah pasti membahayakan kapal dan awaknya.
Setelah 1,5 jam duduk di dalam ruangan kapal yang aman dan nyaman serta lengkap dengan pelampungnya, dari kejauhan samar terlihat bibir Kota Tanjung Selor yang terletak di tepian sungai Kayan. Makin dekat ke pelabuhan, makin terlihat jelas tembok-tembok beton yang dibangun sepanjang bibir kota untuk memisahkan dan sekaligus mengamankan daratan kota itu dari serangan air sungai ketika volume air meningkat saat banjir. Kapal pun sandar dan mengikatkan tali di pelabuhan kecil tersebut, dan para penumpang bergegas keluar dari ruangan menuju terminal. Ada yang menumpang mobil pribadi dan ada pula yang menumpang roda dua untuk menuju ke tujuan masing-masing.

Sementara itu, media ini dijemput dengan sebuah mobil yang dikendarai pemuda bernama Bambang Heri Hadiluhung yang telah lama menanti. Heri, pria berbadan tegap blesteran Melayu Bugis itu langsung mengajak media ini berjalan ke mobilnya. Mobil tersebut kemudian bergerak menuju sebuah rumah makan Padang yang terletak di tengah kota untuk rehat sejenak sembari menikmati secangkir kopi. Dari rumah makan padang sederhana tersebut, mobil yang dikendalikan Heri bergerak santai menuju sebuah hotel di tepi sungai yang terletak persis di bibir timur jalan raya beraspal. Nama hotel itu Luminor. Hotel Luminor adalah satu-satunya hotel mewah yang ada di Ibu Kota Tanjung Selor. Heri kemudian pergi ke Kantor Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) Kaltara yang letaknya tidak jauh dari Hotel Luminor.
Sore hari menjelang malam, Heri kembali ke Hotel Amaris. Ia mengantar Kepala BPJN Kaltara, Nikolaus Gai Botha, ST.MT dan Kasubag TU BPJN Kaltara, Rudi J. Talahatu bersama seorang staf perempuan yang datang untuk menjamu makan malam dan berdiskusi tentang pembangunan infrastruktur di Kaltara. Mobil tersebut pun membawa media ini menuju sebuah rumah makan padang yang telah disediakan. Diskusi seputar kemajuan Kaltara mulai dibuka oleh Kepala BPJN Nico Botha yang telah 2 tahun menjabat. Nico, putra NTT yang menjabat Kepala BPJN kedua pasca Provinsi Kaltara berdiri pada tahun 2012.
Sebelum berselancar lebih jauh tentang medan tugas beratnya di Kaltara, Nico sekilas membeberkan perjalanan hidupnya mulai dari Kupang, NTT hingga mendapat jabatan di Kementerian PUPR dan bertugas di Kaltara. Ia mengisahkan mengawali karier birokratnya dari PNS di lingkup PU Provinsi NTT sejak tahun 1999 di kala Menteri PUPR dijabat oleh Joko Kirmanto. Setelah tahun 1999, ia sempat menjadi PPK di PU Provinsi NTT. Kemudian dari PPK dirinya menjadi asisten pada proyek pembangunan APBN di Bina Marga karena kala itu belum ada BPJN. Pada tahun 2003, ia berangkat ke Makasar, Sulawesi Selatan untuk melanjutkan study S2 di Universitas Hasanudin (UNHAS) jurusan Teknik Sipil Magister Perencanaan Prasarana selama satu tahun. Ia kembali ke Kupang pada tahun 2004.

Seiring berjalannya waktu, pada awal tahun 2007 terbentuklah Balai Jalan Denpasar yang membawahi NTB, NTT dan Bali. Niko menjadi salah satu Kepala Seksi Perencanaan dan Pengawasan (Renwas) di Balai Jalan Denpasar selama 4 tahun. Pada tahun 2011, ia diangkat menjadi Kasatker di NTT sampai dengan tahun 2018 . Ia kemudian ditarik ke Jakarta oleh Menteri Basuki Hadimuljono menjadi Kepala Seksi di Bina Marga selama satu tahun. Setelah itu, oleh Menteri Basuki, pada tahun 2020, Niko mendapat tugas ke Palembang menjadi Kepala Bidang (Kabid) di Balai Besar Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) Sumatera Selatan selama tiga tahun. Dan pada awal Januari 2024, Menteri Basuki mengangkatnya menjadi Kepala Balai (Kabalai) Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) Kalimantan Utara.
Sebelum berkiprah di Kementerian PUPR, Nico mengawali proses pendidikan yang panjang, mulai dari SD St. Yosep Naikoten Kupang tahun 1980 ke SMP St. Theresia Kupang pada tahun 1989, dan 1992 di SMA Kanisius Jakarta. Setelah tamat SMA, pada tahun 1992-1997 ia kuliah Teknik Sipil di Universitas Parahiyangan Bandung, Jawa Barat. Setelah tamat ia pergi ke Jakarta dan setelah itu kembali Kupang menjadi pengawai harian di PU Provinsi NTT. Pada tahun 1999-2000, Niko diangkat menjadi PNS seratus persen dan mulai berkarier di PUPR hingga saat ini.

Dengan lantang, pria muda nan energik itu menjelaskan, ia ditempatkan oleh Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono sebagai Kepala BPJN Kaltara pada tahun 2022 lalu untuk menggantikan kepala lama yang berasal dari Aceh. Tugas kerja di Provinsi Kaltara yang berbatasan dengan Negara Malaysia (Sabah dan Serawak) tidaklah mudah karena topografi Kaltara berbeda jauh dengan provinsi lainnya. Kaltara yang dikitari dengan sungai-sungai besar dan kecil serta hutan belantara dan rawa-rawa menjadi tantangan terbesar bagi misi mulia membangun jalan-jalan negara untuk memperlancar arus manusia, barang dan jasa meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan.
Sungai-sungai yang panjang dan luas terbentang memaksa seluruh pergerakan transportasi lebih banyak menggunakan perahu dan kapal motor sebagai satu-satunya sarana transportasi. Aktivitas distribusi logistik atau material konstruksi ke lokasi proyek sebagian besar menggunakan kapal (tronton) mulai dari luar daerah ke Tanjung Selor dan kabupaten-kabupaten, seperti Bulungan, Malinau, Tana Tidung, Nunukan dan Tarakan. Kondisi tersebut berdampak pada besarnya biaya (high cost) pembangunan infrastruktur dan lambannya proyek konstruksi di Kaltara. Selain biaya tinggi untuk transportasi angkutan laut dan sungai, mahalnya harga material konstruksi yang dibeli rekanan (pelaku usaha) dari Sulawesi Selatan, seperti pasir, semen, besi dan lain-lain juga menjadi tantangan tersendiri.
“Hampir semua material konstruksi kita beli dan kita angkut dari Sulawesi Selatan karena di sini tidak ada kecuali kayu dan batu. Kalau pasir, semen, besi kita beli semua dari sana. Dan itu membutuhkan biaya yang sangat mahal karena memakan waktu lama,” terang Nico.
Diakui Nico, dalam setiap kali perencanaan anggaran APBN untuk jalan dan jembatan di Provinsi Kaltara, seringkali terjadi ketegangan dalam pembahasan anggaran. Pasalnya, usulan biaya pembangunan jalan dan jembatan yang diajukan dinilai terlalu tinggi. Padahal, kata dia, usulan biaya tersebut sudah realistis dengan kondisi geografis lapangan setelah mempertimbangkan mobilitas sarana tranportasi dan harga material konstruksi yang sangat tinggi.

Di sisi lain, terang Nico, meskipun mengalami tantangan yang besar, pembangunan jalan nasional di Provinsi Kaltara sejak 2015-2024 terus dilakukan. Berdasarkan data Histori Kegiatan Tahun Anggaran 2022 – 2024 di Satuan Kerja Pelaksana Jalan Perbatasan Kalimantan Utara, ada 14 paket pekerjaan yang dilaksanakan BPJN Kaltara selama Nico Botha menjabat Kabalai BPJN Kaltara. Dari 14 paket pekerjaan itu, ada 12 pekerjaan jalan dan 2 paket pekerjaan jembatan. Adapun anggaran yang digelontorkan dari APBN sebesar, Rp1.352.967.522.000, dengan rincian Rp1.184.758.496.000 untuk pekerjaan jalan sepanjang 91,66 KM, dan Rp168.209.026.000 untuk pekerjaan jembatan sepanjang 1126,00 M.
Nico merincikan, ruas-ruas jalan yang dikerjakan oleh BPJN, yaitu pertama jalan Malinau- Semamu (Paket I) sepanjang 8 Km dengan anggaran sebesar Rp233.751.076.000 tahun anggaran 2020-2023. Kedua, pembangunan Jalan Malinau – Semamu (Paket 3) sepanjang 10 Km dengan besar anggaran Rp 193.786.875.000 pada tahun anggaran 2022-2023. Ketiga, pembangunan jalan Malinau – Semamu 4 sepanjang 10,50 KM dengan anggaran sebesar Rp111.795.495.000 pada tahun anggaran 2022-2023. Keempat, 4 pembangunan Jalan Malinau – Semamu 5 sepanjang 1,20 KM dengan anggaran sebsar Rp 29.999.565.000 pada tahun anggaran 2023. Kelima, pembangunan Jalan Malinau – Semamu 5 sepanjang 80KM dengan anggaran sebesar Rp19.963.286.000 pada tahun anggaran 2024.
Selanjutnya, keenam, ada pembangunan jalan Long Semamu – Long Bawan sepanjang 10,00 KM dengan anggaran sebesar Rp187.427.037.000 pada tahun 2021-2023. Ketujuh, pembangunan jalan Long Semamu – Long Bawan 2 sepanjang 19,46 KM dengan anggaran Rp240.339.094.000 pada tahun 2021-2024. Kedelapan, pembangunan jalan Long Boh – Long Metulang (Buka Hutan) sepanjang 3,00 KM 8.978.621.000 pada tahun anggaran 2022. Kesembilan, paket pembangunan jalan Long Boh – Metulang (Buka Hutan) sepanjang 8,00 KM dengan anggaran sebesar 23.940.060.000 pada tahun anggaran 2023.
Kemudian, kesepuluh pembangunan jalan Long Pujungan – Long Kemuat – Langap sepanjang 3,70 KM dengan anggaran sebesar Rp11.288.900.000 pada tahun 2023. Kesebelas, pembangunan Jalan Long Pujungan – Long Kemuat – Langap 2 sepanjang 5,00 KM dengan besar anggaran Rp14.993.340.000 pada tahun anggaran 2023, dan kedua belas, pembangunan jalan Akses PLBN Long Nawang sepanjang 12,00 KM dengan anggaran sebesar Rp108.495.147.000 pada tahun anggaran 2022-2024.

Paparan singkat cerita sukses BPJN Kaltara hari Jumad (28/11/2024) malam itu ditutup dengan jamuan makan malam bersama yang diakhiri dengan selentingan obrolan ringan. Kemudian masing-masing kembali ke rumah, dan media ini pun diantar Heri ke Hotel Luminor.
Keesokan harinya, tepatnya hari Sabtu (30/11) pagi, sang kepala balai, Nico Botha menerima tamu pemerintahan dari Jakarta. Jadi hari itu, Nico Botha meminta media ini mengisi waktu dengan berselancar di Kota Tanjung Selor. Mobil furtuner hitam yang dikendalikan Heri dipacu melintasi dua buah jembatan panjang di atas sungai besar menuju museum Kesultanan Bulungan. Museum tersebut terletak di tepi jalan raya persis di bibir sungai Kayan sebelah Timur. Memasuki gerbang beton yang dilapisi cat berwarna kuning emas dengan garis pinggir kehijauan terlihatlah dua buah meriam besar yang moncongnya menghadap ke sungai.
Selanjunya, tak jauh dari dua meriam besar itu, berjejer tiga buah meriam berukuran kecil yang berdiri tegak seperti prajurit perang menjaga Istana Kesultanan Bulungan yang terletak di Jl.Sultan MM.Kasimmudin, RT.2, Tanjung Palas, Bulungan. Di balik tiga meriam besi baja itu, ada anak tangga dan pintu masuk berbahan kayu menutup rumah bermotif ukiran-ukiran khas tersebut. Rumah dengan tiang-tiang kayu itu memiliki satu pintu utama dan jendela di sisi kanan dan kiri yang khas berwarna kuning. Di pendopo (teras) istana terlihat sebuah meriam sedang dengan laras panjang. Meriam itu ditutup dengan kain kuning, hanya moncongnya saja yang terbuka. Menurut Heri, sang sopir yang pernah bekerja sebagai pemandu wisata di Kalimantaan sebelum menjadi tenaga honor di BPJN Kaltara, meriam itu konon dikisahkan memiliki kesaktian. Meriam yang pernah dipakai untuk berperang melawan penjajah tersebut. Meriam itu pernah dicuri namun tanpa disadari oleh para pencuri, meriam itu kembali lagi ke dalam Istana Kesultanan Bulungan. Oleh karena itu disebut Meriam Sakti.

Setelah menungunjungi Istana Kesultanan Bulungan, Heri mengantar media ini menginjakan kaki di halaman rumah Raja Maharaja Lela. Rumah panggung dari kayu ulin (kayu kelas satu) itu terletak tak jauh dari istana. Karena tak ada penjaga, pengunjung tak dapat masuk ke dalam ruangan rumah panggung yang dindingnya terpampang potret-potret tua raja dan struktur sil-silah kerjaan Bulungan dan tulisan sejarah kerajaan. Rumah tua berusia ratusan tahun itu, saat ini telah dijadikan situs Rumah Adat Bulungan yang dikelolah oleh Yayasan Rumah Raya Datu Perdana dengan SK KEMENKUMHAM RI bernomor AHU-0024131.AH.01.04 Tahun 2021. Ketua yayasan tersebut bernama Datu Iman yang adalah keturunan dari Maha Raja Lela. Nama Maha Raja Lela kemudian dipakai untuk nama Komando Rektor Militer (KOREM) Kaltara.
Usai mengunjungi Istana Kesultanan Bulungan, perjalanan kemudian terhenti di tepi sungai Kayan yang memisahkan Kecamatan Bulungan dan Kota Tanjung Selor. Di tepi sungai itu, persisnya di atas tembok penahan air, dibangun pondok-pondok wisata bagi pengunjung. Di pondok itu, sejenak menghirup udara segar sembari menyaksikan panorama alam hijau sekitar, megahnya jembatan panjang Sei Kayan yang terletak di atas sungai sambil melihat lalu lintas kapal dan spead boat yang lalu-lalang mengangkut manusia dan barang.
Setelah kurang lebih 30 menit, mobil kembali menggelindingkan roda empatnya menyusuri jalanan beraspal kembali melewati jembatan panjang Sei Kayan menuju sebuah perkampungan warga Desa Long Metun yang dihuni warga Dayak Kenyah Leppo Bakung. Jarak dari bulungan ke perkampungan Dayak Kenyah tersebut sekitar 1 jam perjalanan. Di perkampungan Long Metun itu mayoritas warga keturunan Dayak. Rumah-rumah mereka seluruhnya berciri khas adat dan budaya Dayak, meskipun sudah terlihat lebih modern, namun ciri khas adat Dayak Kenyah masih tetap terjaga. Terlihat pula Balai Musyawarah Dewan Adat Dayak dan sebuah bukit yang penuh dengan kuburan warga Dayak Kenyah. Tampak ornamen-ornamen dan ukiran yang terpahat dari kayu berdiri di tas setiap makam dengan nama khas masing-masing. Ada pula sekolah dan di ujung jalan sebuah gereja Kristen Dayak Kenyah berdiri megah. Di sisi kiri kanan jalan, ibu-ibu tua dan mudah, tampak mengunyak siri pinang mempertahankan tradisi leluhur mereka.
Di kala matahari mulai bergeseer ke barat, perjalanan kemudian dilanjutkan kembali ke Kota menyusuri ruas-ruas jalan ibu Kota Tanjung Selor. Pusat kota terlihat jalanan beraspal mulai licin walaupun belum seluruhnya. Area perkantoran dinas-dinas dan badan terpusat di tengah kota tak jauh dari Kantor Gubernur Kaltara. Kantor Gubernur dibangun sangat megah berangka besi dan baja. Kantor pusat pemerintahan yang mengendalikan roda birokrasi itu terletak di Jl. H. Soetardjo I, Kecamatan Tanjung Selor, Kabupaten Bulungan. Tak jauh dari kantor gubernur, terlihat pula Kantor DPRD Provinsi Kaltara tempat para wakil rakyat bersidang.

Langkah roda furtuner hitam terhenti di depan Bandara Tanjung Harapan yang terletak di tepi hutan ujung kota. Sejak Kaltara berdiri 15 tahun lalu, bandara ini adalah satu-satunya bandara yang menjadi tulang punggung penerbangan komersial melayani transportasi udara dari dan ke Kaltara di wilayah Kalimantan saja. Rutenya hanya Kaltim, Kalbar, dan Kalsel, tidak melayani ke provinsi lain karena landasan pacu yang masih sempit dan pendek tak dapat didarati oleh pesawat berbadan lebar seperti Boing. Menurut informasi yang diperoleh, upaya pelebaran bandara satu-satunya di Ibu Kota Tanjung Selor ini terkendala masalah lahan sehingga belum dapat dikembangkan lagi. Setiap hari para penumpang hilir mudik masuk keluar bandara Tanjung Harapan untuk bepergian dengan pesawat berbadan kecil.
Bila ingin bepergian ke kota provinsi lain, seperti Makasar, Manado, Surabaya dan Jakarta, maka warga harus mengeluarkan biaya dan tenaga ekstra untuk pergi ke Kota Tarakan karena Bandara Juwata sudah layak didarati pesawat berbadan besar, seperti Citilink, Lion Air dan Batik Air. Jadwal penerbangan dua kali dalam sehari, pagi dan siang. Jadi para calon penumpang yang hendak berangkat ke luar daerah harus bergegas lebih dini dari Kota Tanjung Selor menuju kota Tarakan.
Mentari yang seharian lelah menyinari bumi Kaltara mulai merapat ke ufuk barat. Heri menghidupkan mesin mobil dan meluncur perlahan menuju Hotel Luminor. Setelah beristirahat sejenak, pesan masuk di hand phone dari Kabalai Nico Botha mengajak ke sebuah pesta nikah staf Kantor BPJN Kaltara. Nico dan seluruh staf kantornya bertolak menghadiri acara resepsi pernikahan Trisno & Charita di sebuah gedung kota. Jamuan makan malam dan acara hiburan mewarnai acara malam minggu di Kota Tanjung Selor.
Meskipun suasana malam minggu tak seramai Kota Tarakan yang hingar-bingar dengan lampu kota yang kerlap-kerlib, tempat hiburan malam, dan anak-anak muda meraup kegembiraan berakhir pekan, paling tidak acara pernikahan Trisno dan Charita cukup menghilangkan penat sehari. Angin malam yang lembut, jalanan yang lengang, menambah meditasi malam minggu di tepi sungai Tanjung Selor diiringi aliran air yang tenang. Usai resepsi pernikahan yang diwarnai nyanyian dan tarian, kami kembali ke Hotel Luminor untuk beristirahat.

Pada hari Minggu (30/11) pagi, Nico yang datang dengan berbaju kameja menjemput dan bersama mengikuti misa di Gereja Katedral St. Maria Assumpta. Gereja Katolik itu tampak megah menjulang di tengah Kota Tanjung Selor. Letak gereja besar itu di jalan SKIP 01, Nomor 55, Tanjung Selor tak jauh dari Masjid Agung Tanjung Selor yang merupakan Masjid terbesar di tengah kota itu. Setelah selesai mengikuti perayaan misa hari Minggu, Nico kemudian kembali ke rumahnya karena masih melayani tamu-tamu dari Jakarta. Ia mempersilakan Heri untuk mengantar media ini menikmati suasana kota Tanjung Selor.

Pada hari minggu itu, di Hotel Luminor ada sebuah acara wisuda para sarjana pendidikan guru dari sebuah perguruan tinggi swasta di Tanjung Selor. Suasana hotel Luminor di padati oleh para wisudawan dan orang tua serta tamu undangan, dan juga gadis-gadis cantik Dayak yang membawakan acara mengiringi acara wisuda tersebut. Terkesima dengan busana adat Dayak yang dikenakan tiga orang gadis nan cantik jelita yang sedang duduk di sofa, media ini pun mendekati. Nama tiga gadis belia itu, Glori, Grace dan Viola. Ketiga siswa SMP ini bertugas sebagai penari untuk meriahkan acara wisuda tersebut.
Usai berdialog singkat dengan Grace, Glori dan Viola yang berdarah kental Dayak itu, media ini menuju sebuah rumah makan untuk menikmati jamuan makan terakhir sambi berdiskusi terkait dinamika pembangunan jalan bersama Kabid Bina Marga PU Kaltara, Ibu Eny dan Kabalai BPJN, Nico Botha. Eny yang telah bekerja mengabdi di Kaltara mengaku membangun jalan provinsi di Kaltara adalah tugas yang tidak mudah tetapi harus ia jalankan bersama seluruh rekanan jasa konstruksi. Seperti halnya, Kabalai Nico Botha yang telah mengungkapkan beragam tantangan pembangunan infrastruktur sebelumnya, Ibu Eny pun turut mengungkapkan pendapatnya.
Eny mengatakan, pembangunan infrastruktur di Kaltara, secara khusus jalan-jalan provinsi masih sangat butuh dukungan besar dari Pemerintah Pusat dan Kementerian PUPR. Pasalnya, sambung perempuan berkulit putih dan bertubuh gemuk seksi ini, medan pembangunan infrastruktur Kaltara yang semata dipenuhi dengan sungai-sungai besar dan kecil, rawa-rawa, dan hutan belantara lebat membutuhkan anggaran yang sangat besar untuk pembukaan jalan dan pemeliharaan jalan.
“Tantangan kami di sini yang utama adalah medan yang berat. Itu tidak mudah karena sudah pasti memakan anggaran yang besar. Biaya yang paling besar bukan hanya konstruksinya, tetapi biaya transportasi dan pembelian material yang hampir semuanya dari luar daerah. Jadi paling mahal adalah biaya pengangkutan material konstruksi yang selalu dikeluhkan pelaku usaha. Selain itu, mobilitas antar wilayah yang harus melewati sungai-sungai juga menambah kebutuhan anggaran karena sarana transportasi bukan hanya darat saja tetapai harus melewati sungai-sungai dengan kapal motor atau spead boat,” terang Eny yang tampak semangat sambil tersenyum.
Kabalai Nico Botha, menekankan, meskipun seribu tantangan dihadapi, seluruh program atau paket pekerjaan jalan berjalan baik. Meski menantang nyali, Nico menegaskan bertugas membangun infrastruktur di garis batas Indonesia-Malaysia adalah sebuah tugas mulia yang menyenangkan.
“Bertugas di sini memang sangat banyak tantangannya karena setiap saat kita berada di atas air sungai. Aktivitas kita sebagian besar harus lewati sungai. Walau begitu, saya rasa sangat senang di sini saya mendapat banyak pengalaman yang penuh arti. Selain menyatu dengan warga dan adat istiadat mereka, tugas membangun infrastruktur di batas negara adalah amanat yang harus dijalankan demi menjaga harga diri dan martabat bangsa Indonesia. Ini sebuah pengabdian untuk NKRI tanpa batas. Selamat datang dan selamat jalan. Jangan melupakan Kaltara karena Kaltara adalah penentu kemajuan bangsa di perbatasan negara lain,” pesan Nico.

Usai diskusi di pagi itu, terjadilah sebuah perpisahan. Heri sang pemandu jalan kemudian mengantar media ini menuju Pelabuhan Tanjung Selor dengan salah satu staf balai untuk ke Kota Tarakan yang membawa bingkisan kecil cinderamata Tanjung Selor. Kapal cepat bermesin jet yang sudah menanti, tak lama kemudian bergerak membelah air sungai menuju pelabuhan Tarakan selama 1,5 jam lebih. Tiba di Tarakan media ini pun bergegas bersua kembali dengan Juwata yang anggun, cantik nan indah dengan konstruksi modern di tengah tanah Kaltara menunjukan harga diri dan jati diri bangsa di batas negara. Kata Sayonara Tanjung Selor, sayonara Tarakan pun mencuat dari hati ketika Citilink lepas landas meninggalkan tubuhnya dari landasan pacu Juwata. (bungkornell/suaraflores.com)