Mengenang Dua Tokoh

by -178 Views

Oleh Tony Kleden

Feliks Fernandez dan Frans Amanue. Yang pertama mantan Bupati Flores Timur. Yang kedua rohaniwan yang bekerja di Keuskupan Larantuka. Tidak satu angkatan, tetapi keduanya pernah menimbah ilmu di satu atap yang sama, yakni Seminari Menengah San Dominggo Hokeng, Larantuka.

Feliks putus di tengah jalan. Amanue jalan terus meniti jalan khusus ini hingga akhirnya menjadi seorang imam Katolik. Saatnya ketika Feliks menjadi Bupati Flores Timur tahun 2000-2005, keduanya bersua lagi di medan kerja yang berbeda. Feliks berurusan dengan bagaimana mensejahterakan hidup warga Flores Timur, sedangkan Amanue bersibuk dengan memantapkan iman umat di Flores Timur.

Yang berbeda cuma panggung. Feliks punya panggung di pemerintahan, Amanue berkibar di mimbar gereja. Tetapi justru perbedaan panggung itu meluaskan dimensi dan perspektif yang kemudian menjadi medan magnet yang berbeda. Keduanya kemudian punya langgam perjuangan masing-masing.

Dan, rakyat Flores Timur serta umat di Keuskupan Larantuka tahu dengan sangat baik perbedaan perjuangan itu. Feliks mendesain aneka program pemerintah dengan intensi mensejahterakan rakyat. Amanue melihat bahwa banyak program itu tidak cocok, tidak kontekstual, tidak menjawab kebutuhan riil masyarakat, jauh panggang dari api.

Tak ayal, ketegangan adalah warna dominan sejarah Flores Timur ketika dua sosok ini tampil bareng di panggung masing-masing. Ketegangan itu diberi konteks dua elemen: pemerintah dan gereja. Feliks di pemerintah, Amanue di gereja. Rohaniawan di belakang Amanue, dan aparatur pemerintah di belakang Feliks.

Amanue terus berjuang. Dia melaporkan dugaan kasus-kasus korupsi pada masa pemerintahan Feliks. Ujung-ujungnya dia jadi tersangka. Kecuali kasus kriminal, dalam sejarah gereja tidak lazim seorang rohaniwan dijadikan tersangka karena perjuangannya. Tetapi Amanue tidak gentar. Dia tidak menyerah karena status pesakitan itu.

Ketika sidang pembacaan vonis terhadap Amanue, massa dan umat bergerak. Mereka turun ke jalan, mengepung Kantor Pengadilan Negeri Larantuka. Dan kita tahu, Kantor Pengadilan Negeri Larantuka terbakar ketika itu.

Tampilnya seorang rohaniwan dalam aksi-aksi ‘kenabian’ memang tidak, atau lebih tepat belum lazim di daerah ini. Tetapi dalam sejarah, panggilan kenabian itu telah diperankan banyak tokoh, bahkan jauh sebelum tokoh ‘pemberontak’ utama Yesus dari Nazaret tampil.

Nabi Yehezkiel tampil pada masa ketika umat Israel dibuang ke Babilonia. Situasi umat Israel ketika itu, sebagaimana dapat kita baca dalam Kitab Yehezkiel, sungguh tidak enak. Tatanan nilai-nilai hancur. Yehezkiel tampil sebagai nabi nyentrik yang menyuarakan perubahan dan perbaikan. Dia terus bersuara, tidak peduli didengar atau tidak.

Yehezkiel adalah nabi pertama yang dibuang ke Babilonia, nabi yang paling pertama yang mengangkat suaranya dari tanah rantau. Di tengah situasi rakyat di tempat pembuangan yang tidak menentu, yang susah merajut benang-benang hidup, Yehezkiel tampil ‘garang’. Dia bersuara menyuarakan suara Allah, suara kebenaran.

Sikapnya yang berseberangan dengan pemimpin pada masanya itu menyebabkan dia ditentang para imam, ditolak oleh penguasa, bahkan dicemooh para tokoh umat dan umat sendiri. Mereka menganggapnya sebagai orang gila,yang suka tampil melawan arus.

Yesus dari Nazaret juga tampil beda. Tokoh ‘kharismatik’ ini juga sama seperti Yehezkiel. Kitab Injil melukiskan dengan sangat gemilang bagaimana Yesus mengobrak-abrik tata kehidupan yang boleh disebut palsu. Imam-imam yang membaca lurus kitab suci dilawannya. Singkatnya, yang dibela dan diperjuangkan Yesus adalah humanisme universal yang mengedepankan nilai-nilai moral dan kebajikan-kebajikan.

Dalam sejarah gereja di Amerika Latin muncul banyak tokoh pemberontak. Gustavo Gutierrez dan Oscar Romero adalah dua nama yang sangat melegenda. Gutierrez meninggalkan kemapanan dalam gereja dan tinggal bersama orang miskin. Dia ingin menangkap denyut nadi kehidupan orang-orang yang menderita itu dan dengan pengalaman itu ingin memperkenalkan metode baru berteologi, teologi yang kontekstual-faktual, menjawab kebutuhan umat.

Mirip dengan Gutierrez, Oscar Romero juga tampil garang. Dia seorang uskup yang berjuang menentang ketidakadilan. Bayaran atas perjuangannya sangat mahal. Dia ditembak mati ketika sedang memimpin misa.

Saya tidak hendak menyamakan para tokoh ‘pemberontak’ dalam sejarah ini dengan Frans Amanue. Tidak juga mengindentikkan para pemimpin yang dilawan tokoh-tokoh ‘pemberontak’ itu dengan Feliks Fernandez. Amanue dan Feliks tampil dengan kharisma masing-masing dan telah menyumbang dharma baktinya untuk Flores Timur. Amanue membangunkan kesadaran umat akan jalan miring yang harus dihindari. Feliks mengubah wajah Larantuka hingga membangkitkan rasa bangga orang Flores Timur akan kota kabupatennya.

Meski berseberangan, jangan pernah mengira keduanya berseteru. Ketika bertemu, keduanya bertegur sapa dan berjabat tangan akrab. Amanue pernah diundang Feliks berdiskusi dan makan siang bersama di ruang kerjanya. Sebaliknya Feliks juga memenuhi undangan para pastor di Keuskupan Larantuka dan diobok-obok programnya.

Petualangan kedua tokoh ini berakhir pada momentum berahmat, ketika warga Larantuka, umat Katolik Larantuka dan para peziarah membludak di Larantuka saat Semana Santa. Feliks menghembuskan nafas terakhir pada Rabu Trewa (dua hari sebelum Jumat Agung), dan Frans Amanue menyusul pada Sabtu Suci (sehari setelah Jumat Agung).

Jika sejarah Kabupaten Flores Timur dan Keuskupan Larantuka didramatisasikan, maka tampilnya dua tokoh ini adalah episode paling menarik untuk disimak. Feliks tampil sebagai tokoh protagonis, dan sebaliknya Frans Amanue muncul sebagai tokoh antagonis. Requiem aeternam dona eis, Domine. *

*Penulis: Wartawan, mengajar jurnalistik di SMA Seminari St. Rafael Kupang