Mengenal Lebih Dekat Komunitas Marapu di Kampung Tarung

by -157 Views

PARA petualang pasti tidak asing lagi dengan kata “Marapu”. Marapu adalah sebuah agama atau kepercayaan lokal yang dianut oleh masyarakat di Pulau Sumba. Lebih dari setengah penduduk Sumba memeluk agama ini. Agama ini memiliki kepercayaan pemujaan kepada nenek moyang dan leluhur.

Kepercayaan Marapu sebenarnya sudah lahir dan ada sejak berabad-abad lamanya bahkan sudah ada sebelum Masehi. Untuk mengenal lebih jauh bagaimana kepercayaan ini dipegang teguh oleh masyarakat adat di Sumba Barat, berikut catatan Silvester Nusa, saat bertandang di Kampung Tarung, sebuah perkampungan tradisional yang masih memegang teguh keyakinan tersebut. Kampung Tarung berada di jantung Kota Waikabubak tepatnya di Kelurahan Sobawawi, Kecamatan Loli. 

Keinginan untuk berkunjung ke Kampung Tarung baru terealisasi pada Sabtu, 9 Februari 2018. Bersama rekan Haryati Podu Lobu yang sudah terbiasa dan sering ke kampung tersebut, kami mengendarai sepeda motor Supra X melewati tanjakan sekitar dua puluhan meter. Sesampainya di puncak bukit terlihat sejumlah warga mengenakan busana adat. Dari beberapa informasi bahwa ada kedukaan. Seorang warga meninggal dunia yang jenasahnya baru diantar ke kampung tersebut. Informasi itu membuat kami hampir memutuskan untuk pulang. Beruntung setelah bertanya ke beberapa warga, kami diperbolehkan untuk menemui Rato. Rato adalah Kepala Suku atau Kepala Adat dan Imam Marapu. Kami lalu menelusuri jalan setapak di tengah kampung. Langkah kami terpaksa harus berhati-hati karena hampir setiap halaman rumah yang kami lewati harus berhadapan dengan sejumlah ekor anjing yang seolah menyapa kami. Beberapa warga menyarankan agar kami tak perlu takut karena anjing-anjing itu semuanya jinak alias tidak galak. 

Di setiap rumah yang kami lewati selalu ada senyum dan sapa warga. Keramahan warga terhadap setiap tamu yang datang membuat pengunjung semakin betah berlama-lama di kampung ini. Kampung adat ini dipenuhi dengan rumah-rumah panggung beratapkan alang-alang dan berdinding papan dan bambu. Bentuk atapnya menjulang tinggi seperti Menara. Di setiap rumah selalu ada teras sebagai tempat menerima tamu. Sementara di halaman rumah Nampak berjejeran kuburan khas Sumba dengan batu alam sebagai penutupnya. 

Selanjutnya, perjalanan kami akhirnya sampai di sebuah rumah tempat berdiamnya Rato Rumata. Namun, kali ini kami masih belum beruntung karena sang Rato tidak berada di tempat. Oleh seorang ibu yang biasa disapa Mama Soli, kami dipersilahkan dudu di atas sebuah tikar yang terbuat dari anyaman pandan. Setelah menyampaikan maksud dan tujuan, Mama Soli memanggil sang ibunda dari Rato Namanya Mama Lida Mawo Mude (77). Kepada kami, Mama Lida bercerita banyak hal terkait Marapu. Meurutnya, Marapu itu ada sejak zaman Adam dan Hawa. Artinya sebelum agama-gama seperti Katolik, Islam, Protestan, Hindu dan Budha ada sebenarnya Marapu sudah ada sejak berabad-abad lamanya bahkan sejak zaman manusia pertama  diciptakan di dunia. 

Silvester Nusa ketika berdiskusi dengan Mama Lida Mawo Mude di dalam rumah adat.

Marapu sendiri, menurut Mama Lida, adalah sebuah kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa atau Tuhan Maha Pencipta. “Ama Wolu Ama Rawi atau Yang Maha Kuasa atau Maha Pencipta. Dapa Teki Tamo Dapa Nua Ngara yang artinya kita tidak menyebut nama Tuhan dengan sia-sia atau tidak menyebut nama Tuhan secara sembarangan. Kita harus menghormati Tuhan sebagai Pencipta, “terang Mama Lida. 

Mama Lida menjelaskan, semua agama termasuk Marapu, para pengikutnya tidak pernah bertemu secara langsung dengan Tuhan Sang Pencipta. Kita semua bertemu dengan-Nya sesuai dengan kepercayaan masing-masing atau dalam Bahasa Marapu disebut dengan “Pamoko Wiwi Pamake Mata”. Untuk itulah mengapa Marapu hingga saat ini masih dipegang teguh dan menjadi pedoman hidup sebagian masyarakat Sumba. Dalam Marapu juga ada nilai-nilai tentang kejujuran, tentang kesopanan, kerjasama, saling menghargai dan kesetia-kawanan. Walaupun nilai-nilai atau ajaran itu tidak ada yang tertulis seperti ajaran lima agama lainnya, namun, bagi Komunitas Marapu hal itu menjadi bagian dari cara hidup yang harus dijunjung tinggi dan dipraktekan agar hidup bermasyarakat menjadi lebih nyaman dan penuh kerukunan. 

Mama Lida juga menyampaikan terima kasihnya kepada pemerintah yang baru belakangan ini sekitar tahun 2017 sudah mengakui Marapu sebagai sebuah agama yang disebutnya sebagai “Kepercayaan”. Dengan ini maka warga Marapu bisa memiliki kartu keluarga dan kartu tanda penduduk yang pada identitas agama disebutkan dengan kepercayaan. 

Suasana ngobrol di teras rumah sang Rato itu semakin hangat lagi saat disuguhi segelas kopi dan teh manis. Rasa Kopi Sumba yang nikmat itu membuat alur cerita semakin panjang hingga tak sadar kalau jam menunjukan sudah waktunya pulang. Mama Lida masih terus bercerita lagi. Ia mengatakan, sudah sangat lama pemerintah seolah tidak pernah tahu keberadaan Marapu bahkan para tokoh agama seperti pendeta dan ustadz terkesan tidak tahu menahu juga soal Marapu.

Dalam suatu kesempatan ketika ada pertemuan dengan para tokoh agama di Kantor Kementerian Agama Kabupaten Sumba Barat, di hadapan para pendeta dan ustadz, ia mengatakan bahwa dirinya bukan seorang tokoh agama tetapi sebagai masyarakat biasa. Ia mengulangi lagi pertanyaan saat itu, “apakah masing-masing agama mempunyai Tuhan? Lalu para peserta menjawab bahwa “iya’. Mama Lida bertanya lagi, kalau begitu “apakah Tuhan ada lima? Peserta pertemuan serempat menjawab bahwa Tuhan cuma satu saja. Ia mengatakan, kalau Tuhan cuma satu maka seperti itulah kepercayaan Marapu. Warga Marapu juga mempercayai adanya Tuhan yang menciptakan langit dan bumi serta segala isinya yang telah diajarkan secara turun temurun. 

“Kita semua tercipta dari Tuhan yang sama. Tuhan yang kita sembah sesungguhnya hanya satu saja hanya cara kita menyembah yang berbeda. Sejak jaman Adam dan Hawa, manusia menyembah Tuhan dengan cara menyembelih hewan seperti domba, begitu pula kami di Marapu menyembah Tuhan dengan cara menyembelih ayam. Itu cara kami di samping beragam cara lain kami berkomunikasi dengan Tuhan, “terangnya. 

Mama Lida Mawo Mude, menerangkan, jika kita menggali lebih dalam terkait aliran kepercayaan setiap agama maka mulai dari akar sampai dahan, kita akan menemukan bahwa keyakinan Marapu itulah sebuah kebenaran juga karena percaya pada Tuhan Yang Maha Esa. Marapu adalah yang pertama dari semua agama, hanya yang membedakannya adalah tidak ada dokumen tertulis seperti kitab suci. 

Ritual Wula Podhu

Wula Podhu atau Bulan Suci adalah sebuah ritual keagamaan Marapu. Upacara Wula Podhu biasanya dilakukan di bulan November. Sepanjang bulan November, semua aktifitas seperti kerja, kawin mawin dan lainnya dihentikan. Bulan November dikhususkan hanya untuk menyembah Sang Pencipta Tuhan Yang Maha Kuasa. Pada bulan suci inilah adalah kesempatan juga bagi kaum laki-laki dari Marapu untuk disunat. Ritual sunat dilakukan dimana para pesertanya akan dikenakan seragam khusus dan dirawat selama dua minggu. Di Wula Podhu inilah sebenarnya kaum Marapu mengenang kisah kesengsaraan Yesus Kristus atau merayakan Paskah Tuhan. Jadi, ada kesamaan sesungguhnya dengan kaum Kristiani yang merayakan Paskah di bulan April tetapi Marapu melakukannya di bulan November.

Pada hari terakhir dari puncak perayaan keagamaan Marapu adalah memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Pencipta untuk menurunkan hujan guna membasuhi bumi yang kering agar bisa menyirami tanaman di seluruh dunia sehingga bisa memberikan kehidupan bagi umat manusia. Dengan adanya hujan maka warga Marapu bisa menanam jagung dan padi serta aneka tanaman lainnya agar terus eksis di dunia ini dan bisa hidup memuliakan Tuhan Sang Maha Kuasa. 

Negara Mengakui Marapu

Suasana di dalam rumah-rumah adat komunitas Kampung Tarung

Sebelumnya, sebagaimana lansir ttps://www.merdeka.com/peristiwa/jalan-panjang-penganut-aliran-kepercayaan-agar-diakui-negara.html perjuangan untuk mendapatkan pengakuan negara dilakukan oleh para penganut Marapu. Dari berbagai pertimbangan yang sudah disampaikan pada sidang sebelumnya, hakim MK menilai kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa merupakan hak konstitusional dan bukan pemberian negara. Itu merupakan hak asasi manusia. MK juga berpegang pada piagam Duham dan konvenan internasional. Pada intinya, setiap orang berhak atas kemerdekaan berpikir, beragama dan berkeyakinan, dan kebebasan menjalankan agama dan kepercayaan.

Dalam putusannya, Majelis Hakim menyatakan kata ‘agama’ dalam Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5) UU tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kata Agama juga dinilai tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk ‘kepercayaan’. Lewat putusan tersebut, penganut aliran kepercayaan memiliki kedudukan hukum yang sama dengan pemeluk enam agama yang telah diakui oleh pemerintah dalam memperoleh hak terkait administrasi kependudukan. Selain itu, MK menyatakan Pasal 61 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (5) Undang-Undang yang sama, juga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

“Amar putusan mengadili, mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat ketika membacakan amar putusan Mahkamah di Gedung MK Jakarta, pada 12 Mei 2017 lalu. Mahkamah menegaskan bahwa penganut aliran kepercayaan juga harus tetap dilayani dan dicatat dalam pusat data kependudukan. (***)

Penulis; Silvester Nusa, Mantan Pemred Tabloid Ombay News dan Aktivis LSM.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *