Pilkada gubernur (pilgub) NTT 2018 diwarnai dengan banyak acecoris dan ceremoni adat. Mulai dari busana adat, upacara adat, penyematan gelar raja kepada para calon gubernur hingga penyerahan senjata perang, seperti penyerahan parang kepada calon gubernur Viktor Laiskodat dan Marianus Sae.
Pantauan awak media dan warga, dari berbagai ceremonial adat yang dilakukan, ada dua bilah parang panjang dari Kabupaten Flores Timur diserahkan kepada dua calon gubernur, yaitu Marianus Sae dan Viktor Laiskodat. Hal yang unik dan kontroversi, parang itu diserahkan oleh dua tokoh besar yang berbeda, parang untuk Marianus diserahkan oleh Sesepuh Keluarga Lamaholot Kupang, Frans Lebu Raya, yang juga Ketua DPD PDIP NTT, dan parang untuk Viktor Laiskodat diserahkan oleh Raja Larantuka, Don Thomas Diaz Viera de Godino (DVD), penguasa kerajaan Larantuka.
Disaksikan media, dua parang itu diserahkan pada tempat dan waktu yang berbeda. Parang untuk Marianus diserahkan di kediaman Lebu Raya di Oepoi, Kota Kupang, sedangkan parang untuk Viktor diserahkan di sela-sela deklarasi di Lewotana, Kota Reinha Larantuka.
Apa makna dan simbol penyerahan parang dari dua tokoh besar Flores Timur tersebut? Dalam sebuah peperangan, parang adalah alat untuk membela diri atau mempertahankan hidup. Dengan kata ekstrim, parang adalah senjata untuk membunuh musuh. Senjata lain yang digunakan saat perang, adalah pisau, tombak, panah.
Sementara, dalam kebutuhan hidup sehari-hari, pada umumnya yang menggunakan parang adalah kaum petani. Parang digunakan untuk memotong kayu, membersihkan rumput, dan membunuh atau memototong daging (hewan) berukuran besar, seperti babi, kambing, sapi, kerbau dan kuda. Parang adalah alat bantu untuk kelanjutan kehidupan kaum tani (manusia) pada umumnya.

Dalam konteks politik pilgub NTT, apa simbol di balik penyerahan parang kepada dua orang calon gubernur, yang bukan keturunan dari suku Adonara dan Kerajaan Larantuka? Viktor dari Suku Timor Helong kelahiran Pulau Semau, sedangkan Marianus Sae adalah putra kelahiran Tana Ngada, Bajawa.
Dalam struktur adat dan budaya orang Flores, tidak sembarang memberikan parang adat. Pemberian parang adat, apalagi dengan tujuan digunakan untuk berjaga-jaga dan membunuh musuh bila diperlukan, hanya diberikan kepada anak atau putra laki-laki turunan atau masih dalam lingkaran struktur adat.
Baca juga: Gereja Miskin untuk Kaum Miskin
Penyerahan parang, tentunya mempunyai makna dan simbol khusus. Pilkada gubernur NTT 2018 adalah sebuah peperangan politik melalui pemungutan suara untuk memperebutkan kekuasaan, kursi gubernur dan wakil gubernur demi memimpin 22 kabupaten/ kota di NTT. Bisa dipastikan, konteks penyerahan parang tersebut sebagai simbol alat berperang untuk merebut kekuasaan.
Dalam budaya orang Flores, sebuah parang yang diserahkan untuk berperang atau berburuh, tentunya telah dipersiapkan secara baik melalui ritus adat. Menurut para orang tua, parang yang akan diberikan kepada para serdadu secara khusus panglima perang memiliki kekuatan mitis magis.
Makna lain dari penyerahan parang dalam konteks pilgub adalah pemberian mandat atau tongkat estafet kepemimpinan NTT. Bisa jadi, Lebu Raya sebagai Gubernur, Ketua PDIP dan Ketua Keluarga Besar Lamaholot, mau memberikan mandat (kepercayaan penuh) kepada Marianus Sae melanjutkan karya besarnya yang belum tuntas. Meskipun “disakiti” secara politik karena misinya mengantar Lusia Adinda dan Kristo Blasin gagal, namun ia tetap mau membuktikan jiwa besar dan loyalitasnya sebagai kader partai.
Baca juga: Diserang AIDS 70 Warga Kota Kupang Tewas, 884 jadi Penderita
Sementara di mata Raja Larantuka, diprediksi penyerahan parang sebagai mandat (kepercayaan penuh) dari bumi Lewotana bagi Viktor Laiskodat,seorang putra terbaik NTT dari Pulau Semau untuk merebut kekuasan dan melanjutkan kekuasaan Frans Lebu Raya, yang telah mereka percayakan memimpin NTT selama 10 tahun terakhir.
Melihat panorama dua parang politik ini, begitu banyak warga bertanya-tanya. Mengapa ada dua parang adat dari sebuah keluarga besar Lamaholot, Flores Timur diserahkan oleh dua tokoh besar yang berbeda kepada dua calon yang berbeda? Terbaca dari lakon yang ditampilkan, seolah-olah kedua tokoh tersebut memainkan ‘drama parang politik kontroversi bernuansa budaya.’ Yang satu memakai panggung bumi Timor, dan satunya berlatar panggung bumi Lewotana.
Sikap Raja Larantuka yang bersebarangan dengan Lebu Raya ini, diduga ada hubungan interpersonal yang kurang harmonis. Selain itu, mungkin saja keduanya baik-baik saja selama ini. Hanya saja di panggung politik keduanya menampilkan lakon yang berbeda. Legitimasi ritual adat melalui simbol parang telah terjadi. Apakah Flores Timur akan menjadi basis dukungan untuk Marianus ataukah Viktor? Biarlah publik yang menentukan. (korneliusmoanita/sft)