
SUARAFLORES.NET,–Kota Waingapu, Kabupaten Sumba Timur adalah satu dari tiga kota (Kupang dan Maumere) di NTT yang menjadi pangkalan perang tentara Jepang di kala pecah Perang Dunia II. Waingapu demikian juga Kota Kupang dan Maumere oleh tentara dai nippon dijadikan panggkalan perang untuk menyerang Australia yang adalah sekutu Amerika.
Salah satu saksi hidup, Yo Hong Sem (Samuel Yonathan), seorang warga Tionghoa mengisahkan bahwa ketika ia datang ke Kota Waingapu sekitar tahun 1941 untuk berdagang,di Waingapu sudah ada markas tentara Jepang. Tak berapa lama kemudian datanglah malapetaka besar. Kota Waingapu diserang pesawat tempur (pesawat pembom) Amerika Serikat untuk menghancurkan basis-basis pertahanan tentara Jepang. Serangan bom yang tiba-tiba itu membuat warga panik dan berlarian menyelamatkan diri.
Saat itu, kisah Samuel, rumah-rumah warga hancur lebur luluh lantah dan terbakar akibat bom-bom yang dilepaskan pesawat tempur Amerika. Bukan hanya rumah warga, tapi rumah dan seluruh kios kecil yang bangun sang ayah yang berjarak 42 meter dari gudang Jepang pun rusak. Ia dan ayahnya luput dari serangan bom tersebut karena berlindung di dalam lubang yang ditutup dengan karung kapuk. Keduanya sudah menyiapkan lubang itu untuk mengantisipasi serangan bom.
“Saya punya rumah kena bom dan rusak saja, tapi dari Baba Kenga, Maju Karya sampai pasar terbakar hebat dilahap bom api. Dulu tidak ada yang bisa tolong karena tidak ada pemadam kebakaran. Waktu itu, sebelum bom datang kami sudah siap lubang 1 X 30 cm. Saya masuk ke dalam lubang dan ditutup dengan 1 karung kapuk sepanjang 60 cm. Bom itu datang pada siang hari. Ketika bom jatuh, saya berada di dalam lubang sangat gelap. Karung kapuk tersebut tertimbun material batu pasir dari rumah kami yang rusak. Saya berusaha untuk keluar dari lubang tersebut. Kurang lebih 30 menit saya bergulat dengan maut untuk keluar dengan mendorong karung kapuk yang sangat berat tertimbun material. Setelah saya mendorong dengan sekuat tenaga, akhirnya saya bisa keluar. Saya hampir saja kehabisan nafas,” kenang pria berusia 89 tahun ini saat diwawancarai Suaraflores.net beberapa waktu lalu di kediamannya.
Dikisahkan pria yang kini menetap di Kota Surabaya ini, ia selamat dari serangan bom mematikan itu berbekal pelatihan yang diperoleh di Cina sewaktu masih di bangku SD kelas satu. Sewaktu masih kecil sekolah, ia telah dilatih dan belajar untuk menghadapi serangan bom. Waktu itu pecah perang antara Cina dengan Jepang dan ia mendapat pelatihan dari para gurunya. Caranya, ketika serangan bom Jepang dilepas tentara Jepang dari pesawat tempur, setiap orang harus cepat tidur dan tiarap. Ia juga diajari tentang jenis bom Jepang dan bom Amerika yang berbeda berat dan hulu ledaknya.
“Bom Jepang beratnya kurang lebih 60kg dan bom Amerika kurang lebih 10kg. Bom Jepang ketika dijatuhkan, setiap orang harus tiarap di bawah pohon di atas tanah. Kalau bom Amerika tidak bisa dan tidak boleh tiarap di atas tanah, tetapi harus di dalam lubang. Jika tiarap di atas tanah bisa langsung meninggal dunia. Bom Jepang pecahannya kecil-kecil sedangkan bom Amerika pecahannya besar-besar. Berbekal pelatihan ini, maka ketika bunyi sirene dari markas tentara Jepang, saya langsung bergegas masuk bersembunyi di dalam lubang yang sudah kami siapkan. Makanya saya selamat,” ungkap pria yang kemudian menjadi pedagang besar dan kontraktor ternama di Pulau Sumba ini.
Waktu itu, lanjut dia, tentara Jepang di Sumba jauh lebih banyak dari tentara Jepang di Kota Surabaya. Tentara Jepang memakai Kota Waingapu, Maumere dan Sumba menjadi ujung tombak menghantam Australia. Jadi, tentara Jepang banyak sekali. Pesawat Jepang di Waingapu hampir 30-an buah berlabuh di pangkalan perang Mau Hau.

“Setiap hari saya saksikan pesawat-pesawat Jepang terbang meluncur menuju Australia. Setiap ada aba-aba dari komandan Jepang, maka pesawat-pesawat tempur tersebut bergerak meluncur dan terbang ke Australia untuk menyerang. Serangan itu beruntun setiap hari. Namun, banyak pesawat-pesawat Jepang yang tidak pulang lagi karena diduga ditembaki tentara Australia. Tentara Jepang banyak membuat lubang-lubang pertahanan di bawah tanah yang sangat panjang. Di Kota Waingapu ada goa yang panjangnya 6-7 Km. Lubang-lubang bawah tanah itu menjadi tempat tinggal dan benteng tentera Jepang.
Setelah rumah-rumah dibombardir pesawat Amerika, lanjut Samuel, warga begitu banyak meninggalkan kota. Warga pergi ke desa-desa untuk menyelamatkan diri. Kondisi perang ini pun mendorong ia dan ayahnya pergi ke desa dan menetap di rumah yang ditinggalkan penghuninya. Warga desa sangat bersahabat dengan keduanya. Ia menjadi petani yang menggarap lahan sawah yang diberikan oleh warga. Di atas lahan sawah yang diberikan petani.Pada tahun 1942, setelah kurang lebih satu tahun tinggal di desa, ia bersama ayahnya kembali ke Kota Waingapu.
Pada tahun 1943, ia kemudian mengenyam pendidikan di sekolah Tionghoa, namun tidak tamat dan memilih fokus menjadi pedagang. Dua tahun kemudian, pada tahun 1945, tepatnya 17 Agustus 1945, Presiden Ir. Soekarno memproklamirkan kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Warga Waingapu gegap-gempita mendengar kabar berita itu melalui radio, termasuk Samuel dan ayahnya. Mereka mulai merasa senang karena suasana merdeka itu akan membuat mereka bebas dan aman dalam berdagang hingga Samuel menjadi pedagang dan kontraktor yang tergolong kaya.
Sebelum mengalami serangan bom mematikan di Kota Waingapu, pria bernama Yo Hong Sem (Samuel) yang lahir di desa Coan Ciu, Tiongkok 12 Agustus 1921 ini, mempunyai kisah sejarah yang sangat menegangkan di kala keluar dari negerinya menuju Indonesia. Terdorong oleh situasi ekonomi yang tidak menjajikan masa depan, suatu ketika ayahnya, You Khun An memutuskan merantau ke Indonesia khususnya di Sumba bersama warga Tionghoa lainnya sekitar tahun 1926. Suatu ketika, ia pun pergi mengikuti sang ayah yang tengah berdagang di Sumba.
Ia pergi ke Pulau Sumba dengan menumpang kapal dagang dari Cina menuju Hongkong ke Makasar lalu ke Waingapu. Tepat pada tahun 1938, ia bersama pamannya, You Khun Sai, meninggalkan desa mereka menuju ke pelabuhan Tiongkok Ia dan pamannya menaiki kapal dan berlayar mengarungi lautan luas. Ketika dua hari perjalanan dan sudah sangat jauh dari Tongkok, sebuah kabar buruk menghampiri kapten kapal dan seluruh awaknya. Kabar buruk itu adalah tentara Jepang dengan angkatan udaranya menyerang pangkalan perang Amerika Serikat di Hawai. Serangan itu meluluhlantahkan seluruh pangkalan perang terbesar Negara Paman Sam tersebut.
Mendengar berita buruk itu, munculah ketakutan besar bagi seluruh awak kapal kalau-kalau kapal yang ditumpangi diserang pesawat Jepang atau pesawat Amerika yang akan melakukan aksi balas dendam atas serangan di Hawai. Meski demikian, mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena kapal yang ditumpangi sudah berada di tengah lautan luas. Untuk mengantisipasi dan mengelabui serangan pesawat tempur Jepang atau Amerika di lautan lepas, sang kapten kapal memerintahkan semua lampu kapal dipadamkan pada malam hari.
Selain itu, kapten kapal memerintahkan agar seluruh badan kapal dicat warna hitam supaya tidak terlihat jelas. Strategi lainnya yang dilakukan sang kapten kapal adalah mengalihkan jalur perjalanan kapal yang semula Tiongkok, Manila – Gorontalo – Makasar, langsung menuju Hongkong ke Surabaya. Perjalanan jauh mengarungi lautan biru membuat Samuel harus bertahan hidup dengan makanan dan minuman yang sangat terbatas bersama para penumpang lainnya.
Suatu hari ia bersama pamannya dan penumpang lainnya hanya diberi jatah sekali makan dengan jatah seorang sepiring nasi dan satu butir telur ayam. Pada malam hari, kadang dapat makanan dan kadang tidak mendapat makanan. Setelah berminggu-minggu di laut lepas, Samuel akhirnya tiba dengan selamat di Surabaya. Dari Surabaya ia ke Makasar dan kemudian ke Waingapu dengan menumpang kapal pedagang. (bungkornell/sfn)