SUARAFLORES.NET — Bandara Frans Seda Maumere dahulu bernama Wai Oti. Wai Oti merupakan nama sebuah sumur yang sebelumnya merupakan sebuah lubang atau tempat tinggal biawak. Wai Oti dikenal ke seantero Indonesia bahkan dunia ketika dua kata ini dinobatkan menjadi nama bandara pertama di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.
Menelusuri cerita sejarah ini, tim SuaraFlores.Net menemui sejumlah tokoh sejarah yang sudah senja usai di Lokaria Desa Langir dan Kampung Teteng Desa Watugong Kecamatan Kangae, (26/09/2016). Awal mulanya, terdapat lubang atau tempat tinggal Oti (biawak,red) yang ditunjuk seekor anjing peliharaan warga.
Mereka adalah generasi penerus sejarah yang ditinggalkan para pendahulu wilayah Kangae antara lain Blasius Rehi alias Sius Jato, Pius Hitong, Yohanes Kaspirano dan Iknatius Iking dan Fransiskus Isa Mia.
Sius Jato, pria kelahiran 1947 merupakan salah seorang saksi sejarah. Bersama Pius dan Kaspirano mereka membagikan sejarah tentang Wai Oti. Cerita ini, kisah Sius Jato diceritakan Almarhum Moat Laka dan Almarhuma Du’a Mitak. Pasangan suami istri ini hidup di Kampung Teteng Desa Watugong ratusan tahun silam.
Moat Laka dan Du’a Mitak, hidup dan menikah namun tak dikaruniai keturunan. Mereka memiliki seekor anjing yang sangat ganas ketika melihat atau mencium bau mangsa.
Suatu hari, mereka menelusuri jalan setapak menuju laut mencari kerang dan siput untuk dikonsumsi. Dalam bahasa daerah setempat disebut “Pano Ou Ima A”. Saat hendak kembali, terdengar suara anjing menggonggong seakan ada mangsa yang hendak diterkam.
Moat Laka dan Du’a Mitak penasaran sambil membututi atau mendekati sumber suara anjing yang bringas itu. Disaksikan bahwa anjing ini benar sedang mengejar seekor hewan liar. Warga setempat menyebutnya Oti (biawak,red).
Baca juga: Kisah 9 Calon Pastor Belajar Sholat di Mesjid Al-Mujahidin
Mengetahui anjing tersebut mengejarnya, Oti ini menyelamatkan diri dengan memasuki sebuah lubang di dalam tanah yang diselimuti rerumputan rotan. Anjing ganas ini terus mengejar Oti hingga ke dalam lubang. Moat Laka dan Du’a Mitak terus membuntuti aksi kejar-kejaran anjing dan Oti ini.
Di dalam lubang, ajing peliharaan Moat Laka dan Du’a Nurak ini terus menggonggong dalam waktu yang tidak lama kemudian hening. Moat Laka bersama istri merasa kwatir dan takut akan kehilangan anjing kesayangan mereka. Mereka menunggu di depan lubang dan berharap anjing ini kembali dalam kondisi hidup sambil membawa hasil buruannya.
Oti, bagi warga setempat dapat dkonsumsi karena rasa dagingnya seperti daging ayam. Kurang lebih 10-15 menit menunggu, anjing tersebut keluar dari dalam lubang. Tubuhnya basah kuyup dan bermandikan tanah tanpa membawa hasil kejarannya. Mereka lalu pulang ke rumah.
Kesaksian cerita sejarah ini diumumkan kepada warga Teteng. Berkenyakinan ada air dalam lubang Oti tersebut, warga lalu bergotong royong menggali lubang tempat tinggal Oti tersebut.
Berkat gotong royong warga, lubang Oti ini digali dan ditemukan air yang dengan debit yang besar. Warga tidak menemukan hewan liar yang diburuh anjing Moat Laka.
Baca juga: Mengganti Nama Bandara Menghargai Jasa Frans Seda
Lubang ini kemudian dijadikan sumur yang menghidupi warga, khususnya warga Teteng dan sekitarnya. Warga lalu membangun tembok semen sebagai pagar pengaman sumur yang menjadi sumber kehidupan untuk air minum, mandi dan cuci termasuk kebutuhan ternak.
Kurang lebih tahun 90 an kemudian, sumur ini ditutup. Ketika itu, mobil tangki sudah dapat melayani warga Teteng.
“Sumur ini menghidupi ribuan jiwa yang sebelumnya konsumsi air batang pisang dan air pohon ara. Mereka berterima kasih kepada Moat Laka dan Du’a Mitak yang menjadi petunjuk,” kata Sius Jato yang didamping Pius Hitong (BPD) dan Kepala Desa Watugong, Yohanes Kaspirano.
Anjing dan Oti, dua hewan yang berbeda tempat tinggal. Anjing dipelihara warga, sedangkan Oti hewan liar yang tinggal di lubang tanah yang ditumbuhi rotan. Dua hewan ini mengukir sejarah unik bagi masyarakat Kabupaten Sikka.
Baca juga: Pesawat Yussi Air Terbakar, 6 Tewas, Puluhan Luka-luka
Cerita yang sama diungkapkan Ignatius Iking, Mantan Kepala Desa Langir dua periode itu namun terdapat beberapa poin perbedaan. Orang Teteng menyebut lokasi sumur ada di depan Kampus Muhamadya, sedikit jauh dari Bandara. Orang Langir yang dahulu berada di wilayah Desa Gaya Baru menyebut lokasi sumur tua Wai Oti berada di lokasi pertigaan lokaria. Sumur ini pun menghidupi orang Magedoa Langir dan sekitarnya.
Hal yang sama diungkapkan oleh Fransiskus Isa Mia (76) warga Desa Habi, Kecamatan Kangae. Menurut Isa Mia, lokasi sumur berada tepat jalan masuk menuju terminal lokaria. Sumur itu punah ketika ada pengerjaan terminal timur Maumere di Lokaria ± tahun 1986.
“Ini cerita orang-orang tua. Kurang lebih tiga orang tua termasuk almarhum ayah saya. Saya sendiri mengkonsumsi air sumur Wai Oti sampai tahun 80 an. Kalau disebut Wair Wetak ya benar. Dahulu orang-orang Wetak yang mengambil air sumur ini,” kisahnya.
Terkait pemberian nama bandara, menurut Isa Mia karena lokasi ini dekat dengan bandara. Cerita Anjing berburuh Oti dan pulang basah kuyup menjadi nama sebuah bandara yaitu Bandara Wai Oti yang dibangun pada masa Jepang menduduki Indonesia Timur.
“Wai artinya air, sedangkan Oti artinya biawak. Wai Oti dikenal luas hingga dunia. Kini perlahan tenggelam seiring pergantian nama Bandara menjadi Bandara Frans Seda.,” jelas pria berambut uban itu di kediamannnya. (Aloysius Yanlali/doc Suara Flores).