KUPANG, SUARAFLORES.NET,- Di usia senjanya, tokoh pembangunan infrastruktur Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Ir. Piter Djami Rebo, M.Si, masih terlihat tegar dan bernas penuh semangat. Otaknya yang cerdas, masih tetap tajam dalam memberikan pikiran dan kiat-kiat khusus percepatan pembangunan pertanian dan peternakan NTT. Dia menitipkan pikirannya agar siapapun yang nantinya menjadi Gubernur NTT 2018, harus benar-benar kerja keras, kerja nyata, tuntas dan fokus. Salah satu yang menjadi prioritas adalah pemimpin akan datang harus menjadikan NTT sebagai lumbung pangan bagi 5 juta lebih rakyat NTT agar generasi muda NTT tidak bosan menjadi petani.
Dia menerangkan, saat ini Pemerintahan Joko Widodo telah dan sedang membangun 7 buah bendungan/ waduk berskala besar di NTT yang tergolong pertama kali sejak Indonesia merdeka. Ada bendungan Raknamo di Kabupaten Kupang, bendungan Rotiklot di Belu, bendungan Napun Gete di Sikka, bendungan Temev di TTS, bendungan Lambo di Nagekeo dan lain-lain. Bendungan-bendungan besar ini, kata Djami Rebo, bertujuan sangat baik guna mengatasi krisis air yang setiap tahun melanda NTT. Bendungan-bendungan tersebut, tentunya memiliki asas manfaat untuk memenuhi kebutuhan air minum dan sebagai pembangkit listrik, juga secara khusus untuk meningkatkan pertanian dan peternakan di NTT.
Dijelaskan mantan Kadis PU NTT tiga periode ini, anggaran APBN 2016-2017 untuk pembangunan bendungan-bendungan tersebut. Hal itu patut diapresiasi sebagai bentuk perhatian dari Presiden Jokowi terhadap NTT, sebab sejak lama, NTT yang bercurah hujan rendah memiliki sedikit bendungan, diantaranya bendungan Tilong di Kabupaten Kupang, Matawai di Sumba dan bendungan Sutami -Mbay di Nagekeo. Jika 7 bendungan yang sedang dibangun tuntas, maka NTT akan memiliki banyak bendungan. Ada begitu banyak bendungan, lanjut dia, harus dipastikan dapat memberikan dampak yang besar bagi kemajuan sektor pertanian dan peternakan di NTT karena ketersediaan air yang cukup.
Lebih jauh, tohok Djami Rebo, dalam memanfaatkan bendungan yang dibangun, pemerintah daerah (secara khusus kabupaten-kabupaten yang mendapatkan jatah bendungan), tidak boleh tinggal diam. “Para bupati dan dinas terkait harus bergegas menyiapkan areal pertanian (lahan-lahan) untuk mengembangkan pertanian rakyat. Jaringan-jaringan irigasi harus mulai dibangun secara baik untuk mengalirkan air dari bendungan ke sawah-sawah petani. Selain lahan-lahan pertanian, lahan-lahan pengembangan ternak dan areal tanaman pakan ternak juga perlu disiapkan. Ini harus segera disiapkan, termasuk para petani dan peternak. Jangan sampai kemudian setelah bendungan itu tuntas lalu mubasir sia-sia, tidak berdampak untuk mendukung pertanian dan peternakan. Akhirnya, anggaran yang begitu besar digelontorkan Jokowi tidak mencapai sasaran,” ungkapnya menantang.
Selain, memberikan apresiasi kepada Presiden Jokowi dengan program Nawacitanya yang telah memberikan perhatian khusus bagi NTT, Djami Rebo pun meminta pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi NTT, tidak hanya memberikan perhatian khusus kepada pengembangan sistem pertanian lahan basah melalui pembangunan bendungan-bendungan besar. Tetapi, pemerintah juga harus segera membangun ribuan embung, jebakan air dan memperbaiki jaringan-jaringan irigasi yang sudah rusak serta gerakan reboisasi besar-besaran. Pasalnya, di NTT, kata dia, ada dua jenis sistem pertanian, yaitu lahan basah dan lahan kering. Pertanian lahan basah jumlahnya lebih sedikit dibanding lahan kering. Daerah irigasi di NTT Cuma 250 ha dari 1,5 juta hektar. Artinya hanya 15 persen yang bisa dikembangkan menjadi pertanian lahan basah, sisanya adalah lahan kering. Dari 250 ribu hektar, kurang lebih baru 150 ribu hektar yang baru bisa dikembangkan. Sisanya masih harus ditargetkan dengan bangun banyak embung dan waduk. Untuk itu, menurutnya, bila pemerintah ingin menjadikan NTT sebagai lumbung pangan, maka perlu ada terobosan besar-besaran dalam mendukung sistem pertanian lahan kering.
Pemerintah, tambahnya, tidak boleh hanya berorientasi mengembangkan lahan basah yang hanya sejahterakan orang yang punya lahan basah dan mengabaikan petani lahan kering, pasti ada kesenjangan. Pengembangan irigasi ke lahan kering dengan membangun embung dan jebakan air yang bertujuan menambah potensi air tanah meningkat tinggi. Air tanah itu, kemudian bisa disedot naik ke atas dengan sistem irigasi modern menggunakan teknologi solar sel. Harus ada intervensi pemerintah ke lahan kering sehingga tidak ada disparitas. Belum lama ini, ketika ada diskusi tentang revisi sumber daya air, menurutnya, di NTT kebijakannya harus paralel. “Kita bangun embung besar tanpa ada perbaikan jaringan-jaringan irigasi yang rusak ya percuma. Kita minta itu adalah rehabilitasi dulu jaringan irigasi yang rusak. Misalnya, irigasi di Kambaniru di Sumba. Ini harus kita berani omong supaya irigasi Kambaniru menjadi perhatian utama. Seluruh jaringan dari Kambaniru harus direhabilitasi semua, termasuk di Lewa. Berbagai kerusakan ini harus segera diperbaiki supaya tingkat pemanfaatannya tinggi. Adalagi irigasi di Mataiang sudah 15 tahun air tidak pernah sampai. Ini satu masalah besar bagi para petani. Potensi dan teknis bisa, tapi pembagian airnya yg tidak jelas. Untuk itu P3A dan kelompok taninya harus diperkuat,” terangnya.
“Saya kira pemerintah kurang adil dalam mengalokasikan anggaran. Pembangunan bendungan-bendungan besar, memang sangat dibutuhkan untuk ketahanan Sumber Daya Air (SDA), yang mendukung pertanian lahan basah di NTT. Tetapi, di sisi lain, pemerintah tidak boleh lupa bahwa di NTT luas pertanian lahan kering lebih besar. Anggaran triliunan rupiah hanya untuk membangun bendungan untuk mengairi pertanian lahan basah, yang jumlahnya hanya sedikit. Pemerintah harus juga mengalokasikan anggaran lebih besar untuk membangun ribuan embung, jebakan air dan segera memperbaiki jaringan-jaringan irigasi yang sudah tua rusak,” tandasnya lagi.
Menurutnya, untuk menjadikan NTT sebagai lumbung pangan harus menjadi tugas utama pemerintah NTT karena pemerintah pusat telah membangun 7 bendungan guna mendukung ketersediaan air bagi pertanian lahan basah. Pemerintah di daerah harus mulai merencanakan untuk membangun ribuan embung, jebakan air, dan memperbaiki seluruh jaringan irigasi yang rusak. Jika tidak berani fokus melakukan terobosan ini dengan kebijakan anggaran yang cukup, maka sangat sulit untuk menjadikan NTT sebagai lumbung pangan karena ketersediaan air hanya untuk pertanian lahan basah yang jumlahnya sedikit. Begitu banyak rakyat petani lahan kering hanya berharap dari air hujan satu tahun satu kali untuk bercocok tanam. Kalau curah hujannya bagus, hasil pertanian lumayan, tapi kalau curah hujan tak pasti maka sudah pasti petani gagal panen.
“Mayoritas penduduk NTT adalah petani yang lebih banyak mengolah lahan kering. Mereka lebih banyak bermukim di desa-desa yang jauh dari mata air. Kehidupan mereka sangat bergantung dari pertanian. Saat ini, begitu banyak warga NTT meninggalkan desanya dan pergi merantau ke luar negeri (TKI). Salah satu alasannya, karena desa mereka sudah tidak bisa memberikan hasil pertanian untuk hidup. Jika pemerintah tidak mampu menyiapkan sistem pertanian yang baik melalui ketersediaan air yang cukup, maka suatu saat tidak ada lagi generasi muda NTT yang menjadi petani karena lahan pertanian mereka tidak bisa memberikan jaminan hidup. Ini harus menjadi tugas pemimpin karena kebijakan itu muncul dari seorang pemimpin NTT, termasuk seluruh bupati di NTT,” terangnya.
Ditegaskannya, bila pemimpin akan datang bertekad menjadikan pertanian dan peternakan menjadi leading sektor, maka harus mampu membangun kerja sama lintas sektor yang sinergis. Dinas-dinas teknis terkait harus mendukung apa yang menjadi leading sektor program gubernur. Jika program itu hanya menjadi tanggungjawab dinas pertanian dan dinas peternakan, maka tidak akan berhasil. “ Semua dinas teknis harus mendukung program utama seorang gubernur. Kalau kita mau pertanian dan peternakan, maka harus kerja bersama. Dinas PU bisa bantu apa, dinas pertanian buat apa, dinas peternakan buat apa dalam mewujudkan program besar tersebut. Selain itu, gubernur juga perlu membangun kerja sama yang baik dengan seluruh bupati dalam rangka mendukung program pertanian dan peternakan untuk menghindari konflik interest akibat beda pilihan politik,” ungkapnya.
Menutup penjelasannya, Djami Rebo menegaskan lagi bahwa semua pihak sudah sadar masalah utama pembangunan pertanian dan peternakan di NTT adalah sumber daya air. Dan pemerintah pusat sudah melakukan gebrakan besar untuk menyediakan air melalui 7 bendungan besar. Tentunya, itu adalah tugas utama dari negara. Selanjutnya, pemerintah provinsi dan kabupaten/ kota juga harus mampu melakukan terobosan besar dalam membangun sistem penyediaan sumber daya air, dengan membangun ribuan embung, jebakan air dan membangun dan memperbaiki seluruh jaringan irigasi. Tentunya, program besar ini bisa terjadi harus ada niat, tekad, perencanaan, pelaksanaan, dan target. Kapan memulai dan kapan targetnya. Apakah dua tahun, tiga tahun atau 4 tahun sudah selesai, atau seperti apa? Semua tergantung lagi pada kemauan, keberanian, dan kesiapan pemerintah daerah. (korneliusmoanita/sft)