JAKARTA, SUARAFLORES.NET,-Ribuan pekerja perkebunan Kelapa Sawit PT. Wahana Tritunggal Cemerlang (WTC) dan PT. Multi Pasific International (MPI) di Desa Bay, Kecamatan Karangan, di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur (Kaltim) melakukan aksi mogok. Aksi protes sejak Juli- Agustus 2019 untuk memprotes ketidakadilan yang diduga telah lama dilakukan pihak perusahaan dengan memotong secara sepihak upah karyawan dengan dalih untuk PPH, koperasi, BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan. Padahal hak-hak mereka saat sakit dan melahirkan hingga meninggal dunia tidak diperdulikan pihak perusahaan. Lebih miris lagi, selain memotong THR, pihak perusahaan pun memecat karyawan tanpa diberi pesangon.
“Kami lakukan aksi mogok sudah dua minggu lebih. Kami memprotes kebijakan pihak perusahaan yang menurut kami sangat tidak adil dan tidak manusiawi. Mereka memotong uang gaji kami tanpa alasan. Ada yang THR dipotong, ada yang gajinya dipotong untuk koperasi tapi sampai keluar tidak mendapatkan haknya, ada juga yang dipotong dengan alasan untuk pajak dan BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan, tapi anehnya selama ini kami sakit kami bayar sendiri. Bahkan pihak perusahaan meminta lagi surat dari rumah sakit biaya pengobatan tapi uang kami tidak diganti atau dibayar,”tutur Aventinus (50), salah satu karyawan perkebunan sawit kepada Suaraflores. Net, Kamis (15/8/2019) malam.
Aven yang datang ke Jakarta untuk mencari keadilan bersama beberapa rekannya, mengisahkan, dirinya bekerja di PT WTC Kaltim sudah 8 tahun. Sejak ia bekerja di perusahaan itu ia tidak pernah diberi Surat Perjanjian Kerja (SPK) dan Surat Perjanjian Kerja Bersama (SPKB). Selain itu, ketika diterima bekerja ia dan seluruh rekan-rekannya yang bekerja sebagai pemanen Sawit harus merogo saku sendiri untuk membeli gerobak (ongkang) untuk muat sawit karena pihak perusahaan tidak mempersiapkan peralatan kerja.
“Saya kerja di kelapa sawit 8 tahun. Saya tidak pernah diberi SPK dan SPKB. Alat-alat kerja di perusahaan ini, (ongkang) kami beli dari perusahaan. Karena mnurut mereka hasil bagi dua. Kemudian alat untuk menurunkan buah juga kami beli, tanpa ada sedikit pun dana dari perusahaan. Harganya kurang lebih 1 juta rupiah. Jika tidak ada uang maka perusahaan akan memberikan alatnya dan memotong gaji setiap bulan. Jika kami tidak mau maka kami tidak bisa diterima bekerja,” beber Aventinus geram, saat melaporkan kasus ini kepada Tim Pembela Demokrasi Perjuangan (TPDI) di Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Fakta miris lagi, lanjut Aventinus, ada karyawan yang sudah bekerja 1 sampai 2 tahun tetap menjadi karyawan lepas. Jika sakit , mereka mengeluarkan biaya sendiri untuk berobat. Anehnya, walau mengeluarkan uang sendiri, tetapi gaji mereka tetap dipotong. Kemudian, pihak perusahaan meminta surat bukti pengobatan di rumah sakit, namun setelah diserahkan, biaya yang telah dikeluarkan tidak diganti. Alasan yang disampaikan pihak perusahaan karena para pekerja tersebut adalah Karyawan Harian Lepas (KHL). “Mereka minta surat dari rumah sakit. Dan mereka tidak ganti uangnya. Alasannya karena KHL. Padahal, kami sudah bekerja lebih dari 1 tahun,” ujarnya.
Yang lebih sadis lagi, lanjut Aventinus, ada karyawan yang sudah diangkat menjadi karyawan tetap. Ia sudah ada kartu BPJS Ketenagakerjaan dan BPJs Kesehatan, tetapi ketika sakit atau hamil tetap saja biaya sendiri, dan uang gajinya tetap dipotong untuk iuran BPJS. Selain itu, tambah dia, banyak pula ibu-ibu sakit dan melahirkan kemudian anaknya meninggal karena tidak ada fasilitas. (karyawan perawatan sawit).
“Saat hamil mereka diminta cuti tetapi anehnya surat cuti tidak dikeluarkan. Upah cuti dan hamil juga tidak ada. Saat mereka melahirkan hak upah cuti mereka tidak diberikan. Padahal, mereka sudah terdaftar sebagai karyawan tetap yang setiap bulan gajinya dipotong untuk BPJS Ketenagakerjaandan BPJS Kesehatan. Contohnya, ada seorang ibu orang Manggarai (Ivon), dia minta cuti tahun 2018 saat hamil. Pada saat THR, Asisten PT. WTC , Febri katakan namanya sudah dihapus, dia ditolak dan THR, cuti hamil, dan cuti melahirkan tidak diberi,”ungkapnya sedih seraya mengatakan bahwa kondisi ini sudah berlangsung bertahun-tahun hanya saja para karyawan tidak mau melawan karena takut dipecat.
Dikatakannya, seluruh karyawan berjumlah 1.000 lebih. Dari jumlah 1000 lebih itu, sekitar 800-an berasal dari NTT, seperti dari Manggarai, Kabupaten Sikka, dan Adonara, Flores Timur. Seluruh karyawan tersebut menghuni di sebuah gedung panjang yang dibangun pihak perusahaan. Sebagian besar kaum pria, dan banyak pula ibu-ibu dan anak-anak. Sejak adanya aksi mogok, semua karyawan sempat diminta untuk meninggalkan mess (gedung), namun para karyawan menolaknya dengan alasan seluruh hak harus dipenuhi terlebihdahulu.
Hal serupa juga dialami oleh Stefanus, warga Manggarai. Stefen yang bekerja pada PT. Multi Pasifik (satu group dengan PT WTC), mengaku dirinya bersama rekan-rekannya mengalami kasus serupa. Dia mengisahkan bahwa pihaknya mengalami intimidasi dari pihak perusahaan jika berani melawan kebijakan perusahaan yang memotong sesuka hati hak-hak karyawan yang sesuai undang-undang ketenagakerjaan.

Menghadapi masalah yang telah dialami bertahun-tahun tersebut, baik Aven Stefen bersama seluruh karyawan dari dua perusahaan sawit itu kemudian melakukan pertemuan untuk mendesak perusahaan membayar seluruh hak-hak mereka yang diatur undang-undang. Kurang lebih ada 4 kali pertemuan digelar. Pertemuan dengan dua pimpinan perusahaan terkait sebanyak tiga kali tidak ada kata sepakat, dan pertemuan tiga pihak antara para perwakilan karyawan, perusahaan dan Dinas Nakertrans Kabupaten Sengata , 7 Agustus 2019 juga menuai jalan buntuh. Tidak ada kesepakatan dicapai karena pimpinan perusahaan yang hadir berdalih bahwa semua dilakukan karena keputusan dari pusat.
Stefen yang juga menjadi korban ketidakadilan, mengatakan, dalam 4 kali pertemuan tersebut mengangkat beberapa masalah yang telah memicu aksi mogok kerja karyawan, yaitu. adanya intimidasi oleh pihak manajemen kepada karyawan, pekerja sejak masuk kerja tidak diberi SPK atau SPKB, hak-hak normtif yang tidak diberikan perusahaan, seperti BPJS keternagakerjaan dan BPJS Kesehatan karena alasan KHL, para karyawan yang keluar tidak mendapatkan pesangaon dan hak-hak lainnya, karyawan perempuan yang melahrikan dengan biaya sendiri. Selain itu, peralatan kerja diberli sendiri oleh karyawan,pemotongan gaji untuk koperasi, pemotongan pajak penghasilan (PPH), hari kerja yang terus menurun hingga stop total pada tahun 2018 sementara pihak perusahaan terus membeli lahan baru setiap tahun.
“Itulah yang dilakukan oleh PT. Muliti Pasific. Jadi kami datang ke Jakarta untuk mencari keadilan. Kami mohon pihak- pihak terkait untuk mengambil sikap tegas terkait peruhaan yang melanggar aturan dan undang-undang ketenagakerjaan ini,” katanya di Kantor TPDI Jakarta Selatan.
Disingung mengenai data dan fakta-fakta yang mendukung perjuangan mereka, baik Aven maupun Stefen mengaku mereka telah menyiapkan semua dokumen terkait dugaan perlakuan tidak adil dari pihak-pihak perusahaan tersebut. Dan dokumen tersebu telah diserahkan kepada tim kuasa hukum, Petrus Selestinus, SH.
Sementara itu, Petrus Selestinus, SH, selaku kuasa hukum para korban, menegaskan bahwa pihak-pihak perusahaan telah mengabaikan hak-hak dasar karyawan. Untuk itu, dia mendesak instansi terkait segera bertindak untuk melindungi hak para pekerja di kedua perusahaan tersebut.
Ditegaskannya, pihak perusahaan telah telah mengabaikan dan melanggar ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 pasal 114. Dimana diatur bahwa selama bekerja banyak karyawan tidak diikutsertakan dalam program jamsostek atau BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan. Dalam hal ini, perusahaan telah melanggar Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 pasal 55 tentang BPJS.
Selain itu, kata dia, khususnya para ibu-ibu yang memasuki masa hamil pun tidak pernah mendapatkan hak cuti melahirkan dan selama proses melahirkan pun upahnya tidak dibayar, maka PT Multi Pacific International telah melanggar Undang-Undang Ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003 pasal 82 ayat 1.
Sementara itu, pihak perusahan, baik pimpinan PT. Multi Pasific maupun PT.WTC hingga berita ini diturunkan belum berhasil dikonfimasi. Untuk diketahui, kedua perusahaan ini adalah satu group perusahaan yang induk perusahaanya berada di Kota Jakarta. (Bungkornell/tim/sfn)