Debat Publik Pilkada Sikka “Tak Bertuan”

by -122 Views
Suara Flores

Oleh: Mus Mulyadi

Sejatinya pesta demokrasi adalah pestanya rakyat dan tentunya rakyatlah yang menjadi tuan rumah dari pesta tersebut. Demokrasi tentunya tidak terbungkus, tidak hanya segelintir elit politik atau sekumpulan orang yang dibalut kepentingan perebutan kekuasaan atau mengejar keuntungan dibalik layar pentas.

Tahun politik tiba, ramai elit politik bermain di panggung pemilu. Belum lama ini khususnya di Nusa Tenggara Timur KPU NTT menggelar debat pasangan calon yang katanya berkualitas dan menjawab harapan rakyat. Lalu kontest debatpun menjadi alternatif pilihan dan seakan menjadi trent politik masa kini.

Benar bahwa pelaksanaan debat publik merupakan salah satu tahapan kampanye sebagaimana diatur dalam Peraturan KPU. Akan tetapi debat tidak hanya diakses oleh kelompok-kelompok tertentu yang terbatas, melainkan harus terbuka luas disaksikan publik.

Pelaksanaan debat publik pemilihan gubernur dan wakil gubernur NTT yang disiarkan langsung salah satu stasiun tv swasta di Jakarta tidak banyak disaksikan masyarakat. Media ini tidak dapat diakses semua lapisan masyarakat atau hanya kelompok-kelompok elit saja.

Pada tempat terpisah yakni tanggal 1 Juni 2018 yang adalah hari bersejarah lahirnya Pancasila, dan tentu didalamnya termuat nilai keadilan dan demokrasi yang luhur sebagai landasan bernegara. Di hari bersejarah ini, Kabupaten Sikka justru melakukan hajatan politik yang sungguh tidak demokratis dan tidak adil. Debat Pilkada Sikka adalah inisiatif segelintir elit. Akhirnya nilai keadilan dan demokrasi dari hari bersejarah inipun hanya menjadi milik sekelompok orang.

Mungkin kita bertanya mengapa demikian? Sebelum menjawab pertanyaan itu, mari kita juga membuat pertanyaan lain untuk menemukan jawabannya. Pertama, Apakah Debat Pilkada Sikka menjawab harapan rakyat Sikka? Kedua, Apa nilai demokrasi yang dipetik jika kehadiran bukanlah representatif rakyat Sikka dan apakah ajang ini ada nilai keadilan terkait penyebaran informasi? dan yang ketiga, Apa sebenarnya tujuan dari debat ini?

Jika kita kritisi mungkin masih ada banyak pertanyaan reflektif disana salah satunya, mengapa debat ini sengaja dibuat pada hari sejarah besar bangsa, yang kemudian mengabaikan nilai demokrasi didalamnya? Tapi itu semoga menjadi pertanya reflektif bagi kita semua. Mari kita kembali pada tiga pertanyaan kunci dasar tulisan ini.

 

Harapan
Apakah Debat Pilkada Sikka menjawab harapan rakyat Sikka? Hemat saya, belum tentu. Mengapa? Bagaimana mungkin ajang ini menjawab harapan rakyat kalau yang ikut menyaksikan debat adalah pendukung fanatik yang notabenenya adalah mereka yang sering bersama dan membuat konsep jawaban disetiap pertanyaan panelis. Padahal seharusnya rakyatlah menjadi tuan rumah dan rakyatlah yang menilai setiap jawaban dan berhak menentukan pilihan sesuai kebutuhannya.

 

Demokrasi
Apa nilai demokrasi yang dipetik jika kehadiran bukanlah representatif rakyat Sikka? Ya, bagi kita yang berpikir jernih, ajang ini sangat tidak demokratis. Bagaimana mungkin pesta rakyat ini dibuat dalam gedung yang hanya mampu menampung kurang lebih 500 orang di dalamnya. Padahal rakyat Sikka yang punya hak pilih ada 187.672 yang terdaftar sebagai pemilih tetap. Jumlah ini tersebar di 21 kecamatan dan 147 desa yang ada di Kabupaten Sikka. (sumber: Pos Kupang).

 

Informasi
Kemudian mari kita telusuri apakah ada penyebaran informasi yang merata? Dari sisi penyebaran informasi dan komunikasi, ajang ini justru tidak memanfaatkan secara maksimal media lokal yang ada. Di Kabupaten Sikka ada begitu banyak media lokal yang seharusnya dimanfaatkan sebagai corong informasi, ada begitu banyak orang yang mampu menjadi moderator, tapi panitia lebih percaya kepada orang luar. Bukankah ini kita sedang mengkerdilkan diri dengan membayar orang luar yang nota bene tidak memahami kondisi daerah atau hanya mengikuti pertanyaan yang sudah disiapkan panelis? Begitu banyak pertanyaan bagi kita dan bagi rakyat jika dikritisi secara saksama. Nah, mari kita ke pertanyaan inti ketiga.

 

Tujuan
Apa sebenarnya tujuan dari debat ini? Hemat saya ini adalah panggung rakyat, ini adalah pestanya rakyat dan ini adalah hajatan rakyat dimana pendidikan politik harus terjadi disini. Nah, lagi-lagi menjadi persoalan adalah kehadiran rakyat untuk terlibat dan menyaksikan peritiwa baik ini tidak representatif. Seharusnya ini adalah kesempatan istimewa bagi rakyat untuk ikut mendengar dan menyaksikan langsung kebolehan dari pasangan yang menjadi jagoan nantinya dan akhirnya menjatukan pilihannya pada siapa.

Tapi yang terjadi bukan seperti itu, justru yang hadir dan menyaksikan adalah mereka yang sudah sehari-hari bersama dan tentu memilih dukungannya pada hari H. Dengan demikian momen debat publik ini sangat tidak demokratis dan bisa dikatakan “tidak bertuan”. Wasaalam.

Penulis: Pengelola Taman Baca Geri Gata di Kecamatan Doreng, Kabupaten Sikka, Flores, NTT

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *