MAUMERE, SUARAFLORES.CO–Keberadaan dua terpidana mati (Herman Jumat dan Gaudiensius Resing) dalam kasus pembunuhan berencana di Provinsi NTT harus dijadikan momentum memperjuangkan penghapusan hukuman mati.
“Adanya kasus yang menimpa Herman Jumad dan Resing harus menjadi kesempatan bagi masyarakat dan secara khusus bagi Gereka Katolik untuk memperjuangkan penolakan dan penghapusan hukuman mati,” tegas Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Wilayah NTT, Meridian Dewanto Dado, SH, dalam rilisnya yang diterima Suaraflores.co, Kamis (6/10/16).
Menurut Meridian, terpidana mati atas nama Herman Jumat Masan adalah seorang Pastor (Rohaniwan Katholik) yang telah divonis hukuman mati oleh Mahkamah Agung RI pada tahun 2014 karena terbukti membunuh kekasih gelapnya di Kabupaten Sikka yaitu seorang Suster bernama Merry Grace. Dia juga menghabisi nyawa dua anak hasil hubungan gelap bersama Merry Grace.
Sementara itu, lanjutnya, Gaudensius Resing adalah terpidana mati yang telah divonis hukuman mati oleh Mahkamah Agung RI pada tahun 2003 karena terbukti melakukan pembunuhan di Kabupaten Sikka pada tahun 2002 terhadap istrinya Etropia Salviana, adik iparnya Esmarion Kondradus dan ibu mertuanya Bernadeta Bi.
“Kita semua tentunya sangat mengutuk dan mengecam keras pembunuhan keji yang dilakukan oleh kedua terpidana mati tersebut. Kita pun harus sepenuhnya memahami riuhnya tuntutan keluarga korban pembunuhan yang mati-matian mendukung hukuman mati, namun demikian kita juga harus menyadari bahwa seberat apapun sanksi pemidanaan berupa hukuman mati sekalipun tidak akan pernah bisa menimbulkan efek jera bagi sistem penegakan hukum kita. Disamping itu, pandangan Gereja Katolik secara tegas menolak penerapan hukuman mati tanpa kualifikasi apapun sebab hidup dan kehidupan manusia adalah suatu hal yang suci serta harus dijaga dan dihormati oleh siapapun,” tegasnya.
Menyikapi itu, kata Meridian, TPDI NTT mendukung penuh penghapusan hukuman mati di Indonesia, sebab hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Menurutnya, praktek eksekusi hukuman mati adalah tindakan penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan harkat martabat seseorang, bahkan dengan model sistem peradilan pidana di Indonesia yang masih rapuh dalam pengawasannya serta penuh manipulasi dalam proses pembuktiannya.
“Sangat beresiko sekali untuk menjatuhkan hukuman mati terhadap seorang pelaku tindak pidana. Oleh karena itu, melalui keberadaan kasus Herman Jumat dan Gaudensius Resing harus menjadi tonggak bagi masyarakat dan Gereja Katolik perjuangkan penghapusan dan penolakan penerapan hukuman mati di Indonesia,” pintanya. (bkr/sfc)