
SETIAP daerah punya tata cara masing-masing dalam menguburkan jenasah. Biasanya, cara pemakaman akan mengikuti tradisi dari agama atau kepercayaan masing-masing. Seperti halnya yang terjadi di tanah Sumba khususnya di Kampung Galu Desa Matawoga. Warga Kecamatan Katikutana, Kabupaten Sumba Tengah ini, bahu membahu menggotong batu besar yang akan dijadikan sebagai penutup kuburan.
Untuk mengenal lebih dekat cara mereka membangun kuburan, berikut rekaman media ini saat berkunjung ke Kampung Galu pada Minggu, 3 Maret 2019 lalu.
Di Kampung Galu ini dan pada umumnya kuburan di tanah Sumba, ciri khasnya adalah adanya penutup batu besar yang telah dipahat berbentuk buju sangkar atau persegi panjang. Sumber batu besar tidak selamanya berasal dari sekitar tempat pemakaman, namun, bisa saja berasal dari luar desa, luar kecamatan bahkan di luar kabupaten. Biasanya ada anggota keluarga yang sudah survei keberadaan batu dan ketika ada keluarga yang meninggal maka akan ada yang bertugas sebagai pemahat batu. Rata-rata lebar tepi batu seperempat meter bahkan ada yang mencapai satu meter. Ada penutup batu dengan ukuran panjang 7 meter dan lebar 6 meter. Bayangkan dengan ukuran seperti itu, bagaimana cara memikulnya?

Terkadang kita sulit mengerti bagaimana bisa batu dengan ukuran besar bisa berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain dan tentu saja sangat berbahaya sekali karena bisa mendatangkan korban. Namun, hal ini sudah dianggap biasa oleh warga Sumba. Oleh karena sering melakukannya pada setiap ada kematian maka ada teknik-teknik tertentu yang sudah turun temurun diwariskan. Sebagaimana diungkapkan warga Kampung Galu, Gori Dapa Djalang (71) saat ditemui di lokasi pemakaman keluarganya pada Minggu, 3 Maret 2019 lalu. Kepada media ini, Gori mengungkapkan perlunya persiapan biaya yang sangat besar untuk mengundang ratusan orang bahkan ribuan orang untuk membantu memindahkan batu dan pengerjaan kubur. “Untuk memindahkan batu sebesar ini kita harus mengundang ratusan orang bahkan ribuan orang untuk membantu. Paling cepat bisa satu hari dan paling lambat bisa satu minggu, “ujarnya.
Hal sama juga dibenarkan Opa Heribertus Umbu Rauta (74). Opa Heri menceritakan, selama pengerjaan, pemindahan hingga pemasangan batu kubur biasanya juga mengorbankan banyak ternak. Puluhan ternak disembelih untuk beri makan kepada para pekerja. Ia mencontohkan, untuk kuburnya almarhum Umbu Deki Sipul yang pada bagian atas batu penutup terdapat kursi menandakan bahwa yang terkubur di dalamnya adalah seorang bangsawan atau kepala suku. Itu artinya, biaya yang dikeluarkan ratusan juta bahkan miliaran rupiah jika diuangkan.
Untuk sekelas raja atau bangsawan biasanya akan ada hamba juga yang turut dikuburkan sebagaimana almarhum Umbu Deki Sipul ada empat orang hambanya yang dikuburkan di sampingnya. Almarhum Umbu Deki Sipul sendiri memiliki enam orang isteri dan saat ini tinggal satu orang isteri yang masih hidup. Jika kelak meninggal maka isterinya juga akan dimasukan ke dalam kubur yang sama bersama suami dan lima orang isteri yang sudah meninggal. “Nanti kalau meninggal kita buka batu penutup kubur ini dan kita masukan lagi yang meninggal. Saat mengangkat batu kita harus hati-hati agar tidak retak karena batu sudah tua, “ujarnya.
Opa Heribertus Umbu Rauta juga menceritakan kisah masuknya Misi Agama Katolik di tanah Sumba yang mulanya diijinkan oleh almarhum Umbu Deki Sipul. Saat itu, almarhum juga menyerahkan sejumlah bidang tanah kepada para misionaris untuk membangun gereja dan sekolah.

Ketika berada di lokasi pemakaman tersebut, para anggota keluarga juga menunjukan sejumlah makam yang salah satunya ada makam yang memiliki patung dari batu namun kepalanya telah dicuri orang karena bernilai mahal. Dalam batu makan juga ada gambar motif dan tulisan batu yang sulit dipahami maksudnya. Bahkan salah seorang anggota keluarga, Opa Gori Dapa Djalang, menceritakan ketika seseorang bangsawan atau raja dimakamkan akan disertakan dengan sejumlah harta karun seperti emas yang dimasukan ke dalam mulut jenasah atau dikuburkan di samping jenasah. Salah satu bukti bahwa suatu makan terdapat emas murni akan terlihat pada bagian luar makan di mana batu makam akan nampak kuning karena aura emas murni dari dalam makam.
Salah seorang sahabat yang berkunjung ke lokasi pemakaman, Robby Desilfa Saunoah, menyatakan kekagumannya atas budaya Sumba yang terus bertahan hingga saat ini. Menurutnya, cara-cara unik ini harus dipertahankan sebagai symbol budaya. Pendapat yang sama dikemukakan Booy Bira Sagabara. Cucu dari almarhum Umbu Deki Sipul ini, mengemukakan, setiap anggota keluarga akan selalu dimakamkan dengan cara atau tradisi yang sama.
Bagi pembaca yang ingin mengenal lebih jauh terkait cara orang Sumba menguburkan jenasah, sisihkan waktumu untuk berkunjung ke tanah Sumba negeri para Rato. Selamat datang di tanah Sumba. Yang pastinya warga Sumba akan merasa senang menyambutmu. (Penulis: Silvester Nusa)