KUPANG, SUARA-FLORES.COM,-Angin bertiup sepoi-sepoi di kala matahari kembali ke peraduannya. Desa Muna yang terletak di tepi sawah hijau terbentang diterpa kuning kemerahan sinar mentari. Dalam sebuah rumah tua tampak seorang petani kecil bernama Laode Sego tampak gelisah menemani sang istri Wandesi yang sedang berjuang keras melahirkan anak ketiganya. Ia terbaring di kamar rumahnya dengan seorang bidan dalam ketegangan dan kegelisahan. Do’a dari bibir Laode Sego terus mengalir menjelang detik-detik kelahiran anaknya.
Tepat waktu yang ditentukan Tuhan, ketika hari memasuki serambi malam, suara tangis pertama bayi kecil yang dilahirkan Wandesi memecah keheningan di rumah kecil milik Laode Sego. Mendengar suara tangis pertama anaknya, Laode pun melonjak gembira tak terkira, karena sang putra yang dinantikan telah lahir ke dunia dengan sehat walafiat. Ia menyambut anak ketiga yang berjenis kelamin laki-laki itu dengan suka-cita dan doa syukur kepada Allah Subahana Wataallah. Sang putra yang kemudian diberi nama Laode Ipi lahir tepat di akhir bulan Desember 1966.
Bayi kecil Laode Ipi terus bertumbuh dalam asuhan ibunda Wandesi dan dekapan kasih sayang Laode Sego. Laode Ipi terus bertumbuh. Sang ayah kemudian memanggilnya dengan nama Zainal Arifin. Seiring berjalannya waktu, usia Laode Ipi pun terus bertambah. Oleh ayah dan ibundanya, Laode Ipi kemudian disekolahkan di SDN I Lohiya, Kecamatan Pabulu, Kabupaten Muna pada tahun 1974. Letak SD I Lohiya tak jauh dari rumahnya. Ia diantar oleh ayahnya setiap hari ke sekolah dan dijemput kembali ketika pulang sekolah dengan berjalan kaki di jalan tak beraspal. Berkat pendidikan yang diberikan para guru dan kedua orang tuanya, Laode Ipi yang rajin, tekun dan cerdas pun tamat SD pada tahun 1980.
Laode Sego dan Wandesi adalah sepasang keluarga petani yang hidup dari bertani. Keduanya memiliki kebun atau sawah yang ditanami padi, jagung, singgkong, pisang dan berbagai jenis tanaman holtikultura. Meski memiliki kebun, keduanya bukanlah petani yang kaya. Mereka hidup sederhana dan apa adanya. Selain bertani, Laode Sego juga sebagai guru mengaji dan juga menjadi imam Mesjid. Laode Sego maupun istrinya sangat tekun Shalat lima waktu. Laode selalu memberikan nasehat dan motivasi agar-anak-anaknya harus sekolah agar menjadi orang berakhlak dan berpendidikan baik, dan sukses di masa depan.
Setelah tamat dari SDN I Lohiya, Zainal Arifin kemudian masuk SMPN I Raha di Kota Raha, Kabupaten Muna pada tahun 1980. Ia tamat meraih ijasah pada tahun 1983. Zainal Arifin yang telah bertumbuh menjadi seorang remaja kemudian masuk SMAN I Raha di Kota Raha. Di SMAN I Raha, ia mengenyam pendidikan selama 3 tahun, dan akhirnya meraih ijasah SMA pada tahun 1986. Zainal rupanya telah memiliki niat yang besar untuk menjadi seorang dosen pertanian. Obsesi itu, karena ia melihat di kampung halamannya ada banyak lahan pertanian yang menghidupi petani dan warga desa, termasuk kedua orang tuanya yang adalah petani tulen.
Mendengar gencarnya berita tentang penerimaan mahasiswa baru di Universitas 1945 yang saat itu menjadi universitas ternama di Makasar, Sulawesi Selatan, Zainal tertarik. Ia menyampaikan kepada ayah dan ibundanya ingin kuliah di Universitas 1945 dan memilih fakultas pertanian yang saat itu diminati banyak orang. Keinginan Zainal itu didukung penuh kedua orang tuanya. Ia pun pergi ke Kota Makasar untuk mendaftarkan diri menjadi mahasiswa Universitas 45. Zainal pun lolos menjadi mahasiswa fakultas pertanian. Dari 4.000 mahasiswa, sebanyak 500 mahasiswa memilih fakultas pertanian termasuk Zainal. Ia mulai kuliah di kampus tersohor itu. Ia tinggal di sebuah kost di Kota Makasar bersama beberapa kawan-kawan kuliahnya.
Sebagai anak petani kecil miskin di Kampung Muna, Zainal tidak membuang-buang waktu. Ia hanya menghabiskan waktu 4 tahun (lebih cepat dari waktu normal 5 tahun) untuk meraih gelar sarjana pertanian. Obesisnya menjadi sarjana pertanian pun tercapai. Setelah lulus, ia kemudian menjadi asisten dosen pertanian di Fakultas Pertanian Universitas 45 almamaternya.
Merantau ke Maumere Jadi Guru
Suatu saat Zainal bertemu seorang pejabat dari Maumere, Kabupaten Sikka, NTT, bernama Robby Lameng. Robby Lameng adalah Kepala Bidang di Bappeda Kabupaten Sikka. Ia ke Makasar untuk mengikuti kegiatan pelatihan pertanian lahan kering terpadu (P2LT) karena di Maumere ada satu litbangnya dan Roby diundang mewakili NTT. Dalam kegiatan pelatihan itu, Zainal yang kala itu menjadi asisten dosen diperkenalkan kepada Robby oleh Nurleyla, Ketua Dekan Pertanian Universitas 45. Kebetulan Robby membutuhkan sarjana pertanian lahan kering, maka Nurleyla pun memperkanalkan Zainal mantan mahasiswanya itu.
Menemukan seorang sarjana pertanian lahan kering, Robby merasa senang. Ia berusaha mempengaruhi Zainal agar mau bekerja di Maumere. Dia meyakinkan Zainal untuk ke Maumere, bahkan memberikan garansi kepada Zainal dapat menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Pasalnya, ayah Robby kala itu adalah Ketua DPRD Kabupaten Sikka. Tawaran yang menggiurkan itu membuat Zainal menyatakan kesiapannya. Zainal pun pulang ke rumahnya dan memberitahukan kabar gembira itu kepada kedua orang tuanya.
Ketika tiba di rumahnya, Zainal menceritakan niatnya akan merantau ke Maumere. Mendengar kabar itu, kedua orang tuanya berbeda pendapat. Ibunya mengatakan setuju, tetapi ayahnya melarang Zainal ke Maumere. Kepada mereka, Zainal menegaskan dirinya ingin bekerja di Maumere karena lapangan kerja telah disiapkan oleh Robby Lameng. Ia menjelaskan bahwa lebih baik ia bekerja dahulu sebelum diwisuda dari pada setelah wisuda baru mencari pekerjaan. Jadi ia putuskan berangkat ke Maumere bersama Robby.
Zainal menyiapkan beberapa lembar pakaiannya di dalam sebuah tas kecil dan berangkat ke tempat penginapan Robby Lameng. Dia bersama Robby menuju pelabuhan untuk naik kapal laut. Setelah mengarungi lautan luas selama 2 malam, keduanya tiba di Pelabuhan Laut Ende. Saat itu, sekitar tahun 1991 di Flores terjadi musim kemarau panjang.
Turun dari kapal laut di pagi hari, keduanya langsung menumpang bus menuju Maumere. Zainal dan Robby tiba di rumah Robby Lameng di Maumere sore hari setelah melewati jalan Ende-Maumere yang berkelok-kelok dan melelahkan. Zainal diminta tinggal di rumah Robby Lameng sembari menanti pekerjaan yang dijanjikan.
Keesokan harinya, Robby mengantar Zainal ke Litbang Pengolahan Lahan Kering di Wairklau Maumere yang letaknya berdekatan dengan Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA) milik Robby Lameng. Tiba di Kantor Litbang, ia bertemu dengan Kepala Litbang, namun Kepala Litbang mengatakan Zainal datang terlambat. Posisi yang dijanjikan Robby telah ditempati orang lain. Mendengar perkataan itu, Zainal tertegun saja. Ia kemudian menyampaikan informasi tak mengembirakan itu kepada Robby Lameng.
Setelah Zainal berdiskusi dengan Robby Lameng, Robby kemudian meminta Zainal mengajar sementara di SPMAnya sekaligus menjadi Wakil Kepala Sekolah St. Thomas. Ia pun mulai mengajar siswa-siswi di sekolah itu. Ia mengajar di sekolah tersebut selama 6 bulan dengan gaji sebesar Rp.60.000 per bulan. Ia merasa sedikit kecewa karena gaji yang ia terima sebagai asisten dosen di Universitas 45 jauh lebih tinggi, sebesar Rp200 ribu.
Setelah mengajar 6 bulan di SPMA St. Thomas dengan gaji yang sangat kecil bagi seorang sarjana pertanian, Zainal mulai merasa jenuh dan kecewa karena pekerjaan yang dijanjikan Robby tidak kunjung datang. Setiap hari ia merenung, berpikir dan berusaha mencari jalan lain agar dapat kembali lagi ke Makasar untuk kembali menjadi dosen. Ia merasa kecewa karena jaminan menjai PNS pun makin hari kian tak ada kabar lagi. Namun tak mau protes karena merasa tidak etis untuk menanyakannya.
Zainal mulai mengatur langkah diam-diam agar dapat kembali ke Masakar. Ia merasa Makasar jauh lebih maju dari pada Maumere, dan di sana ia dapat kembali menjadi asisten dosen sambil menunggu jadwal wisuda. Apalagi Universitas 45 almamaternya adalah satu-satunya kampus yang telah melahirkan sarjana pertanian pertama. Dari 4.000 mahasiswa angkatan pertama yang masuk dibagi dalam 10 kelas, sekitar 500 mahasiswa jurusan pertanian termasuk dirinya. Saat itu, semua sarjana angkatan I setelah selesai kuliah tidak langsung diwisuda. Mereka harus menunggu tiga bulan baru diwisuda.
Ketika rencana diam-diam untuk kembali ke Makasar sudah matang, Zainal kemudian berpamitan dengan Robby Lameng. Di hadapan Robby, ia mengatakan akan berangkat ke Makasar dengan kapal yang mengangkut besi. Robby merasa keberatan dan meminta Zainal bertahan. Namun Zainal mengatakan dirinya sudah siap untuk berangkat dan nanti akan kembali lagi setelah diwisuda. Ia pun pergi ke dermaga Sadang Bui Maumere dan menumpang kapal yang memuat besi dengan rute Maumere-Kota Kupang- Makasar.
Masuk Yayasan Alva Omega
Dalam perjalanan menuju Kota Kupang selama 2 malam, Zainal bertemu Amirudin Laoda, seorang warga Buton. Amirrudin yang berprofesi sebagai pedagang itu mengajak Zainal untuk menginap di rumahnya kala tiba di Kota Kupang. Ia siap membantu untuk makan dan minum serta penginapan sebelum berangkat lagi ke Makasar. Zainal pun setuju, ketika kapal barang yang memuat besi itu tiba di Kota Kupang, ia bersama Amirudin menuju kediaman Amirudin di Kampung Namosain,yang berdampingan dengan rumah Frans Fanggi, Asisten Direktur Yayasan Alfa Omega.
Keesokan harinya, Giman, paman Amuridin yang berhubungan baik dengan Frans Fanggi mengajak Zainal bertandang ke rumah Frans Fanggi. Dalam percakapan, Frans mengaku sedang mencari seorang sarjana pertanian beragama Islam karena Yayasan Alfa Omega mendapat isu negatif kala itu dituding menjalankan misi Kristen Protestan sehingga programnya tidak berkembang di daerah Muslim.
Bak gayung bersambut, peluang besar itu langsung ditangkap Zainal. Ia pun langsung bergegas menemui Direktur Yayasan Alva Omega, Pdt. Ishak Frans di Kantor Alva Omega, Noelbaki, Kabupaten Kupang. Dalam dialog, Pdt. Ishak Frans meminta Zainal bekerja di kantornya untuk membantu program-program yang sedang dijalankan. Tawaran yang menarik dan menantang serta menggiurkan itu membuat Zainal mengurungkan niatnya untuk kembali ke Makasar.
Zainal mulai bekerja di Yayasan Alva Omega sebagai tenaga kontrak sejak tahun 1992-1995 dengan gaji Rp200.000, dengan tunjangan sebesar Rp150.000. Ia tinggal di mess milik Alva Omega ditemani sebuah motor untuk memperlancar pekerjaannya. Ia merasa puas dengan pekerjaan itu karena dapat mengaplikasikan ilmu pertanian yang diperoleh dan mendapatkan penghasilan. Setiap tahun kontraknya diperpanjang oleh Alva Omega.
Pertama bekerja di Alfa Omega, Zainal ditugaskan di Pulau Pantar, Kabupaten Alor karena di pulau itu banyak umat Muslim. Ia memberikan pencerahan baru terkait misi Yayasan Alva Omega kepada warga Pantar yang dinilai sebagai yayasan politik. Menegaskan kembali penjelasan Pdt. Ishak Frans, ia mengatakan kepada warga Alor bahwa Alva Omega sebagai yayasan pemberdayaan dan pengembangan masyarakat yang mempunyai visi dan misi melayani semua umat tanpa sekat suku dan agama demi meningkatkan taraf hidup ekonomi.
Zainal bertugas di Alor dari tahun 1992 hingga 1995 sebagai pemerhati wilayah Pulau Pantar. Saat itu Pulau Pantar masih sangat terisolir. Kondisi alam yang keras dan ganas dengan lautan yang sangat menantang nyali membuat Zainal harus ekstra bekerja keras. Meski penuh resiko, ia sangat senang bekerja di Pulau Pantar karena ingin memajukan Pulau Pantar dari sisi kondisi ekonomi masyarakatnya karena pulau itu memiliki potensi pertanian lahan kering yang luar biasa, namun warganya tidak sejahtera. Setelah melihat kondisi itu, ia menceritakan kepada Pdt. Ishak Frans, dan kemudian dibukalah sentra-sentra penyuluhan dan pertanian.
Sejak tahun 93, sentra-sentra penyuluhan dan pertanian mulai digarap dan berjalan sangat baik. Karena kerja kerasnya, setelah dievaluasi pada tahun 1995, ia mendapat prestasi terbaik se-NTT dari Yayasan Alva Omega. Baginya, prestasi terbaik yang ia raih tersebut tidaklah mudah.
Pasalnya, tantangan terbesar di Alor adalah menyeberangi lautan dengan perahu. Setiap minggu ia harus bolak-balik dari Kalabahi ke Pantar, dimana nyawa menjadi taruhan karena ganasnya ombak dan arusnya yang sangat keras. Suatu saat, ia naik perahu yang ditumpangi 30 tiba-tiba terseret arus lautan lepas menuju Australia. Perahu tersebut dihantam ombak dan nyaris tenggelam dan ada beberapa orang yang jatuh ke laut. Melihat penumpang yang jatuh ke laut, ia berenang menyelamatkan mereka.
Pengalaman hidup selama di Alor memang tak pernah hilang dari ingatannya. Ia mengaku pernah bertahan satu hari satu malam (dari jam 08.00 malam sampai jam 08.00 pagi) karena perahu yang tumpanginya terseret arus dan nyaris teggelam. Saat itu bulan puasa dan ia hanya berbuka puasa dengan sebuah buah mentimun.
Tragedi itu terjadi kala perahu motor berangkat dari Kalabahi menuju Pantar. Ketika di tengah laut, mesin perahu mati dan kapal terseret arus. Seluruh penumpang di dalam perahu menangis ketakuatan dan berteriak minta tolong ketika kapal akan tenggelam. Ia hanya pasrah kepada Tuhan dalam situasi yang kritis itu. Secara tiba-tiba datanglah pertolongan dari Petugas Sahbandar Kalabahi yang datang dengan sebuah kapal besar. Semua penumpang berhasil dievakuasi ke daratan.
Selain di Alor, Zainal kemudian ditugaskan di Maumere ketika bencana gempa bumi dan gelombang Tsunami melanda Pulau Flores pada 12 Desember 1992. Ia menyalurkan bantuan dan mendampingi warga korban bencana di Nangahale, Kecamatan Talibura selama kurang lebih 4 bulan lamanya. Karena bekerja siang dan malam melayani warga, Zainal jatuh sakit hampir mati karena kesehatannnya menurun. Ia kemudian dirawat dan akhirnya kembali sembuh kembali Kupang.
Lolos Test Dosen
Zainal ingin sekali menjadi seorang dosen untuk menerapkan ilmu, ide dan gagasannya dalam membangun pertanian lahan kering di NTT. Kesibukan bekerja di Alva Omega, tidak membuat cita-citanya menjadi dosen pertanian surut. Ketika ada informasi penerimaan dosen pertanian di Politani Kupang, ia pun ikut test calon dosen pada tahun 1995. Saat itu,Politani Undana Kupang membutuhkan dosen yang minimal memiliki dua tahun pengalaman kerja. Ia pun ikut test dan lolos menjadi dosen di era Tony Jogo sebagai Direktur Politani Kupang.
Setelah lolos menjadi dosen honorer, Zainal mengajar di Politani sejak tahun 1995. Ia tinggal di asrama perumahan dosen Politani Kupang. Gajinya sebagai dosen sebesar Rp100 ribu, menurun jika dibandingkan dengan gaji saat bekerja di Alva Omega. Ia sangat menikmati profesi sebagai dosen karena ia dapat menerapkan ilmu, ide dan gagasannya, meski dua tahum kemudian baru diangkat menjadi dosen PNS dengan SK sebagai PNS dari Dirjen Dikti Kemendikbud pada tahun 1997.
Meski telah menjadi dosen, hubungan kerja sama dengan Yayasan Alva Omega tetap terjalin akrab. Ia tetap mendedikasikan pikiran dan tenaganya untuk Alva Omega yang telah menyelamatkannya ketika berada dalam masa sulit. Hubungan yang harmonis itu tetap terjaga sampai saat ini. Buktinya, namanya tercatat sebagai salah satu anggota Koperasi Alva Omega. (Penulis: Kornelius moa nita/sfc) (bersambung)