Oleh: Abraham Runga Malj*
Bagian Pertama: Flobamora Incorporated
Ketika memasuki masa pertarungan Pilgub NTT, saya mengajak pembaca untuk berkenalan dengan istilah Flobamora Incoporated. Lebih singkat Flobamora Inc. Istilah ini pertama dipernalkan oleh ilmuwan sosial AS, Ezra Feivel Vogel, dalam bukunya Japan as Number One: Lessons fo America (1979).
Saat itu, itu terjadi ledakan pembangunan industri di Jepang, dan Vogel coba menggali mengapa Jepang mengungguli negara lain, termasuk Amerika Serikat. Ternyata, demikian Vogel, keberhasilan itu karena Jepang menampilkan diri seperti sebuah perusahaan besar, lalu pemerintah bergerak bersama swasta dalam multi-sinergis dalam mengembangkan ekonomi secara terpadu. Itulah Japan Inc.
Artinya, semua modal, baik itu modal sosial, modal finansial dan intelektual dipakai untuk mewujudkan pembangunan yang sudah dicanangkan bersama. Dengan perkataan sederhana, mereka kompak, semua departemen terkoordinasi dengan baik, dan semua masyarakat menopangnya.
Indonesia pernah menggagas Indonesia Incorporation, sejak jaman Radius Prawiro. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah kembali membangkitkan ide ini. Seperti dugaan saya, ide-ide itu tidak pernah berinkarnasi menjadi daging kenyataan. Maka lupakan saja dulu Japan Inc. Atau Indonesia Inc. Saya ingin kita, terutama ketika sedang hangat – hangat menyambut pesta demokrasi untuk mencari pemimpin NTT yang baru, untuk sedikit berkenalan dengan pemikiran ini.
Flobamora Inc. Bisa didefinisikan begini: Flobamora (Flobres-Sumba-Timor dan Alor) “dilihat” sebagai sebuah entitas bisnis dan pemerintah dalam multi-sinergis dengan swasta dan masyakarakat adat bersatu padu merancang dan mensukseskan ekonomi secara bersama- sama.”
Pernah saya berharap ide ini muncul beberapa tahun silam di kalangan orang NTT saat merespon pendapat terkait program percepatan pembangunan dari Jakarta bertajuk MP3EI (Masterplan Percepatan dan Peluasan Pembangunan Indonesia). Namun hal itu tidak terjadi. Sempat muncul letupan ide sana–sini, namun tidak masif dan komprehensif, lalu menghilang begitu saja.
Merujuk konsep saat itu, dalam rangka percepatan pembangunan untuk sejumlah wilayah Indonesia yang dibagi dalam berbagai wilayah dalam sejumlah koridor. Dana yang dianggarkan untuk program ini mencapai Rp700 triliun. Propinsi NTT, masuk dalam koridor V bersama NTB dan Bali. Di koridor ini, untuk sebuah pembangunan berkelanjutan jangka panjang (2025), pemerintah merancang sebagai wilayah pengembangan pertanian, peternakan dan pariwisata.
Saya ingat, sebagai terjemahan atas ide besar itu, Gubernur NTT Frans Lebu Raya kemudian menetapkan propinsi ini sebagai kawasan peternakan berbasis lahan kering. Menetapkan leading sector ini bisa diterima mengingat lahan kering yang terbentang luas, terutama di Timor dan Sumba. Sempat pula terlontar rencana pengembangan industri pariwisata. Namun, sayang semuanya belum terwujud sesuai harapan. Maka, saat ini ketika para calon gubernur tampil ke permukaan, harapan saya kembali mencuat, dan terus terang pasangan Viktor Bungtilu Laiskodat dan Joseph Nae Soi langsung mencuri perhatian saya.
Bagian Kedua: Menimbang Para Calon
Akhir pekan lalu, sebuah pesan singkat masuk ke telepon seluler, menguak sebuah pertanyaan, “Mengapa Anda mendukung pasangan Viktor Laiskodat dan Josef Nae Soi sebagai pasangan calon gubernur dan wakil gubernur?”
Pertanyaan mengapa kita mendukung atau memilih salah satu pasangan calon merupakan soal mendasar yang mesti dijawab oleh semua masyarakat Flobamora, tentu saja terutama bagi mereka yang memiliki hak pilih dalam pemilihan gubernur NTT pada pertengahan tahun ini. Jawaban yang tepat mestinya akan menghasilkan pilihan pemimpin yang tepat pula, sehingga kita tidak membuang-buang waktu lima atau sepuluh tahun hanya untuk menyesali kegagalan mereka.
Bahkan, dengan memberikan alasan yang tepat kita terhindarkan dari alasan-alasan primitif dalam mencari pemimpin, yakni pemimpin dipilih karena dia seagama atau sekampung dengan kita. Yang seperti itu cocok keluar dari orang-orang yang tidak berpendidikan. Sebagai orang terdidik, kita harus bisa membantu masyarakat kita untuk keluar dari jebakan primordial dalam setiap kali pemilihan gubernur NTT, yakni Flores vs Timor, atau Katolik vs Protestan.
Bukankah saat ini kita sedang muak dengan isyu-isyu primordial yang dimainkan dalam Pilkada DKI sebagai Ibu Kota kita? Jangan sampai praktik ini, kita tolak di tempat lain, tapi kita terapkan di kampung sendiri. Ini standar ganda. Mari kita pilih pemimpin karena mereka secara nyata atau berpotensi memiliki kecakapan dalam mengurusi persoalan publik.
Kembali ke pertanyaan di atas, mengapa saya mendukung Viktory-Joss? Pertanyaan ini sekaligus bisa dibalik, mengapa saya tidak mendukung tiga pasangan yang lain. Seperti diketahui, NTT memiliki empat pasangan bakal cagub dan cawagub, yakni Esthon L Foenay-Christian Rotok (Esthon- Chris) diusung oleh Partai Gerindra yang memiliki 8 kursi dan PAN 5 kursi, sehingga total 13 kursi dan memenuhi syarat pendaftaran di KPU.
Kemudian pasangan Benny K Harman-Benny A Litelnoni (Harmoni) diusung Partai Demokrat yang memiliki 8 kursi, PKPI 3 kursi, dan PKS 2 kursi. Selanjutnya pasangan Marianus Sae-Emmilia Nomleni (Marianus- Emmi) diusung PDI-P 10 kursi dan PKB 5 kursi, sehingga totalnya 15 kursi. Kemudian terakhir pasangan Viktor Bungtilu Laiskodat-Joseph Nae Soi (Victory-Joss) adalah bakal cagub dan cawagub NTT yang memiliki kursi terbanyak yakni Partai NasDem 8 kursi, Golkar 11 kursi, dan Hanura 5 kursi, sehingga totalnya 24 kursi.
Dalam menjatuhkan pilihan, saya memiliki dua pertimbangan sederhana berikut, yakni politik dan ekonomi. Dari perspektif politik, saya ingin menempatkan pemilihan gubernur dalam konteks politik nasional, terutama terkait pemilihan presiden pada tahun depan.
Menyaksikan kinerja Presiden Joko Widodo dan perhatiannya yang optimal kepada propinsi ini. Bayangkan sudah lima kali beliau mengunjungi NTT dalam empat tahun terakhir maka saya berpendapat kita mesti mendukung pemilihan Jokowi untuk periode kedua.
Dengan alasan ini, saya berkeyakinan bahwa NTT sebagai basis partai nasionalis tentu dengan menimbang kinerja Jokowi yang lumayan mengesankan. Kita harus terus melakukan konsolidasi untuk mengamankan Jokowi. Pertimbangan ini serta merta menyadarkan saya untuk memihak kepada partai dan calon- calon pemimpin propinsi yang sinergis dengan agenda politik nasional.
Selain itu, kecenderungan intoleransi yang kian mengental di negeri ini, kian meyakinkan saya untuk tidak akan mendukung para pemimpin NTT yang ditopang oleh partai- partai yang diragukan komitmennya pada kebhinekaan Indonesia. Untuk persoalan ini, pilkada yang seru di Ibu Kota Jakarta bisa dijadikan pelajaran menarik.
Bagaimana mungkin saya memilih orang – orang yang didukung oleh partai yang dalam pilkada di DKI memainkan isyu-isyu keagamaan yang dalam percaturan politik nasional akan memojokkan kaum minoritas, dimana masyarakat NTT adalah salah satu bagian di dalamnya?
Lalu, apakah kita memiliki cukup jaminan kalau dalam pemilihan presiden tahun depan, gubernur dan wakil gubernur yang kita dukung dan pilih akan berada di gerbong yang sama dan ikut berjuang bersama kita? Atas pertimbangan ini, secara pribadi tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada para calon lain, saya berterus terang tidak akan mendukung para calon yang ditopang oleh Gerindra, PKS, PAN dan Demokrat. Makanya pasangan Esthon-Kris Rotok dan BKH-Benny tidak saya dukung.
Bagian Ketiga: Viktor vs Marianus
Maka yang tertinggal dalam pandangan dan seleksi pribadi saya—cuma dua calon, yakni Viktor Laiskodat-Josef Nae Soi dan Marianus Sae-Emmi Nomleni. Kedua pasangan ini sama-sama diusung oleh partai nasionalis, makanya tak ada hambatan ideologis bagi saya dalam memilih salah satu dari keduanya. Lagi pula partai-partai yang mendukung mereka adalah pendukung Jokowi.
Lalu, saya masuk pada pertimbangan berikut, yakni dari sisi kecakapan (atau berpotensi cakap) dalam mengakselelasi pertumbuhan ekonomi. Sampailah pada alasan mengapa saya tidak mendukung Marianus-Emmi.
Sebenarnya, untuk memimpin NTT yang masih terpuruk secara ekonomi, saya mendambakan figur seperti Viktor dan Marianus yang sama-sama berangkat dari pengalaman berwiraswata. Dalam pandangan saya, orang-orang dari kelompok ini biasanya sudah menghayati budaya korporasi, lebih paham dalam mengelola ekonomi secara riil dan terbiasa mengakses sumber-sumber finansial yang menopang pembangunan.
Maka ketika MS diberi kesempatan untuk memimpin Ngada, saya sangat menaruh harapan besar. Hanya saja sayang, tentu dalam pandangan saya, Marianus tidak memanfaatkan kesempatan ini secara optimal. Kendati, pujian yang masif ditujukan atas kesuksesan Marianus yang sudah mulai memimpin Ngada sejak 2010, saya justru melihat banyak kelemahan mendasar yang dilakukan Marianus sebagai bupati Ngada.
Dari keluyuran selama beberapa pekan pada akhir tahun dan menemui cukup banyak orang di Ngada, saya menemukan jawaban bahwa ‘pemberdayaan ekonomi rakyat’ (Perak) sebagai program unggulan Marianus tidak berjalan efektif. Bibit-bibit sapi dan ternak lainnya yang dibagikan kepada masyarakat tidak jelas hasilnya. Terakhir malah terbetik berita kalau Pemda Ngada malah sibuk berjuang mendatangkan beberapa kuda dari Sumba seharga sekor Rp50 juta untuk memenuhi hobinya sebagai pelaku pacuan kuda. Itu pun menimbulkan kritik dari sejumlah pihak.
Lalu, kota Bajawa yang sejak jaman Belanda ditata dengan indah sekarang ini tidak tampak lagi kecantikannya. Bajawa di malam hari menjadi kota yang gelap gulita. Di sejumlah sudut kota bermunculan pasar liar lantaran pemindahan pasar ke arah Bobou tidak dirancang secara baik. Benar bahwa beliau berhasil membuat jalan- jalan yang tampak mulus yang memudahkan akses akses ke sejumlah desa. Namun, kalau dicermati, itu sebagian besar merupakan jalan-jalan lama yang tinggal diaspalkan.
Belum lagi kalau kualitas jalan diteliti dan proses tendernya dikaji lebih mendalam. Karena sudah menjadi rahasia umum di sejumlah daerah. Semoga ini tidak terjadi di Ngada. Karena infrastruktur adalah mesin uang yang paling efektif untuk memperkaya para kepala daerah melalui hubungan yang manipulatif dengan para kontraktor.
Lagi pula, soal jalan-jalan desa yang dibanggakan itu pun belum menyentuh secara penuh sampai ke Riung. Padahal Riung adalah kawasan wisata yang sangat potensial. Saya bisa memahami karena MS belum memiliki konsep pengembangan kawasan wisata Riung secara meyakinkan. Bahkan, sebaliknya kita mendengar di desa Sambinasi yang sangat permai pada 2010 keluar IUP untuk mengeksplorasi biji besi.
Lalu, dari surat penjelasan yang ditujukan kepada DPRD Ngada (2012), diketahui kalau Pemda Ngada yang dipimpin Marianus sempat mengundang Dirut PT Bhirawa Jaya Sejahtara atas nama Petrus Sudiarjo untuk mengelola sejumlah pulau kecil dan Wisma Pemda Ngada di Riung dengan sistem bagi hasil. Hanya saja sampai sekarang sejauh pengamatan saya, perusahaan itu belum pernah mengerjakan apa pun, entah apa alasannya. Dari penelurusan pribadi, Bhirawa adalah sebuah perusahaan biro perjalanan yang didirikan Robert Lie pada 2010 di Bali (Kontan, 10 September 2015). Perusahaan sekelas ini tentu tidak bisa diandalkan untuk bisa menanam modal besar di bidang pariwisata.
Selain itu, Ngada dielu-dielukan sebagai kabupaten yang berhasil keluar dari cap kabupaten tertinggal. Namun, itu bukan keberhasilan spesial Ngada. Kabupaten Ende dan Sikka serta sejumlah kabupaten lain pun juga sukses melakukan hal yang sama. Bahkan, posisinya berada di atas Ngada (Bdk Sipri Bate Soro, 2017). Data statistik terkait angka kemiskinan memperlihatkan keberhasilan itu sudah dicapai kabupaten ini sebelum dipimpin Marianus (Peter Dabu, 2018).
Benar kalau Marianus disebut sukses dalam mengelola anggaran. Dari dokumen yang ada, terlihat ada sekitar Rp 96 miliar yang dipakai untuk operasional kantor, Rp 66 miliar untuk perjalanan dinas, Rp 37 miliar untuk operasional mobil dinas dipangkas dan dijadikan dana untuk pendidikan, infrastruktur, kesehatan dan lainnya.
Namun, kalau saja angka kemiskinan tidak berubah dari para bupati sebelumnya, kita patut pertanyakan bahwa dana-dana itu hampir pasti belum dimanfaatkan secara tepat sasaran. Belum lagi soal manajemen birokrasi yang terkesan amburadul karena hanya ingin membalas budi para tim sukses. Maka, tak heran kalau terdapat sekelompok orang di Ngada yang mendorong Marianus menjadi gubernur bukan karena sukses di Ngada, tapi lebih karena menginginkan bupati mereka segera hengkang dari sana.
Semua catatan di atas tidak mengurangi kecintaan sebagaianbesar masyarakat Ngada. Itu terkait kemampuan komunikasi politik Marianus yang handal—plus dipoles sejumlah beberapa konsultan komunikasi politik–, bisa berbaur menari dan menyenangi masyarakat.
Mungkin karena kecintaan itu, Marianus bisa tetap berkibar kendati diterpa bebagai isyu yang tak sedap seperti kasus pemblokrian bandara dan kasus Natalia, walauapun isyu- isyu yang kemudian berkembang liar cenderung membuang-buang waktu dan sering didaur ulang oleh lawan-lawan politiknya.
Dari berbagai catatan di atas, maka saya cenderung berbeda pendapat dengan banyak kalangan yang menilai Marianus sukses di Ngada dan karena itu pantas diberi kesempatan untuk memimpimpin propinsi NTT. (bak. Profesor Andreas Lako, Marianus Sae Adalah Pemimpin Yang Visioner dan Partisipatif).
Dengan alasan itu, pada pilgub NTT kali ini, harapan saya pada pilgub kali ini jatuh pada Viktor Bungtilu Laiskodat dan Josef Nae Soi. Mengingat sumber pembangunan di propinsi NTT masih menggunakan sebagian besar dana dari pusat, maka latar belakang mereka yang pernah berkecimpung di Senayan merupakan pilihan yang tepat untuk mengakses dana.
Selain dana APBN, keduanya bisa merambah banyak dana-dana teknis dari berbagai departemen yang belum dimanfaatkan secara maksimal. Apalagi, hingga saat ini, belum ditemukan catatan buruk—terutama terkait korupsi—saat keduanya berkiprah di Senayan.
Dan akhirnya, ini yang terpenting, latar belakang Viktor sebagai seorang pengusaha, merupakan faktor yang menjadi pertimbangan paling dominan. Beliau tidak hanya paham dengan kultur korporasi, tapi tentu saja memiliki akses yang baik dengan mitra-mitra usaha yang hebat.
Ini penting, karena peran serta swasta—kita tidak bisa lagi hanya mengandalkan dana APBN—sangat penting dalam mengakselerasi pembangunan di sebuah wilayah, termasuk NTT. Tentu, masih ada saja yang khawatir kalau-kalau Viktor akan menjadi alat bagi grup usaha Artha Graha—dimana Viktor Laiskodat menjadi bagian di dalamnya—akan menguasai aset-aset di NTT secara membabi buta.
Kekuatiran yang berlebihan
Dari berbagai pengalaman dan pengamatan pribadi, grup usaha ini seperti juga dengan para konglomerat lain di Tanah Air, bukanlah orang yang kebal hukum. Teguran atas bisnis perikanan grup usaha ini di Maluku, protes warga Bali terhadap rencana reklamasi Benoa dan berhentinya rencana besar membangun Jembatan Selat Sunda merupakan bukti bahwa Artha Graha tidak bisa berbuat semena-mena. Dengan lain perkataan, masyarakat NTT bisa menghentikan bila Viktor dan grup bisnisnya akan memanipulasi NTT. Itu sebabnya saya tetap menaruh harapan yang besar kepada Victory-Joss.
Dalam pandangan saya, pasangan ini yang paling bisa mewujudkan semangat Flobamora Inc. Apalagi mereka secara terang benderang menaruh perhatian yang besar pada pariwisata yang ditopang pembangunan infrastruktur, yang terjemahkan dalam program JALA (jalan, listrik dan air bersih).
Bahkan, terkait pariwisata, Viktor sudah mendahuluinya dengan mendalami tema pariwisata secara akademis melalui studi yang serius melalui disertasi doktoral bertema pembangunan pariwisata sebagai penggerak utama kemajuan NTT.
Perhatian yang serius pada pariwisata juga tampak ketika Viktor secara pribadi terlibat dalam membiayai program NTT Alenia’s Journey Uncover NTT menjelajahi Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) selama kurang lebih 80 hari.
Tim yang dipimpin Ari Sihasale dan istri Nia Zulkarnain itu menjelajahi Flobamora untuk mengangkat hal-hal yang positif tentang NTT, baik manusianya, alam dan sejumlah potensi, termasuk melihat berbagai infrastruktur yang masih terbengkalai. Dengan kata lain, Victory-Joss tak harus berkuda dan menghabiskan waktu di atas motor kalau hanya ingin mengetahui kondisi riil porpinsi ini.
Di pihak lain, istri Viktor, Julie S. Laiskodat juga dan sedang secara serius mengangkat tenun ikan NTT dengan membuka butik tenun NTT yang diberi nama LeViCo. Melalui butik itu, kain NTT semakin mendunia dan sejumlah pejabat di Tanah Air, termasuk Presiden Joko Widodo mengenakannya saat tampil di depan publik. Sebuah bentuk promosi yang luar biasa.
Ini sungguh membanggakan dan sebuah indikasi awal bahwa Victory-Joss adalah figur yang bisa melihat kekuatan Flobamora, dan karena pengalaman dalam pergaulan di panggung politik dan korporasi adalah orang tepat dalam menghimpun kekuatan dan mengajak banyak orang untuk terlibat dalam Flobamora Inc.
Ini tentu berbeda dengan sejumlah calon lain, selain hanya populer dalam pergaulan di tingkat lokal, mereka juga suka meniup isyu pemekaran propinsi, wacana yang akan menyita waktu dan menguras tenaga kita untuk berdebat tak ada habisnya, dan tentu saja berpunggungan dengan semangat Flobamora Inc. ***
Warga Diaspora Flobamora, tinggal di Jakarta